BENTUK KENAMPAKAN FISIK (MORFOLOGI) KAWASAN PERMUKIMAN DI WILAYAH PINGGIRAN SELATAN KOTA SURAKARTA

Mentari Adhika Putri 1) , Murtanti Jani Rahayu1, 2), Rufia Adisetyana Putri1, 2)

1) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, UNS, Jl. Ir. Sutami No.36 A, Kentingan, Surakarta 57126

2) Pusat Informasi dan Pembangunan Wilayah, UNS, Jl. Ir. Sutami No.36 A, Kentingan, Surakarta 57126

Issue Vol 4, No 2 (2016)

DOI 10.14710/jpk.4.2.120-128

Copyright (c) 2017 Jurnal Pengembangan Kota

Creative Commons License This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License

Abstrak

Kebutuhan lahan permukiman terus meningkat seiring dengan perkembangan kota. Tuntutan penggunaan lahan permukiman yang tidak dapat diakomodir oleh ruang kota menimbulkan perembetan kawasan ke wilayah pinggiran (urban fringe). Perkembangan wilayah pinggiran (urban fringe) mengakibatkan kenampakan bentuk morfologi tertentu. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui bentuk morfologi kawasan permukiman urban fringe selatan Kota Surakarta. Penelitian ini menggunakan metode diskripsi dengan dua tahapan, (1) mengidentifikasi komponen bentuk morfologi yang terdiri dari penggunaan lahan, pola jaringan jalan, dan bangunan (pola dan kepadatan) dan (2) menganalisis bentuk morfologi kawasan permukiman urban fringe selatan Kota Surakarta dengan memadukan karakteristik komponen pembentuk morfologi. Hasil penelitian menunjukan pola penggunaan lahan campuran, pola jaringan jalan spinal, kepadatan beragam, dan pola bangunan heterogen. Karakteristik kenampakan komponen morfologi tersebut menunjukan bentuk morfologi gurita pada kawasan urban fringe selatan Kota Surakarta.

Kata Kunci: urban morfologi, urban fringe, permukiman, Kota Surakarta


[Title: Morphological Shape of Urban Fringe Settlement in South Surakarta]. The requirements of settlement land continue to increase along with the development of the city. A Land use settlement demand that cannot be accommodated by the city space raises the development of suburban area (urban fringe). The development of suburban areas (urban fringe) results certain morphological forms. Hence, the purpose of this study was to determine the morphology of urban fringe settlement area in the South Surakarta. This study used descriptive method in two stages, (1) identification of morphology components consisting of land use, the pattern of road networks, and buildings (patterns and density) and (2) analyzing the morphology of the settlement area urban fringe in the South Surakarta by combining the characteristics of forming morphology components. The results showed the use of mixed land patterns, spinal road network patterns, and the density of diverse and heterogeneous buildings patterns. The morphological characteristic on the urban fringe area in the South Surakarta is octopus.

Keyword: urban morphology, urban fringe, settlements, Surakarta

table of content

1. PENDAHULUAN

Perkembangan kota yang dinamis mengakibatkan tuntutan akan ruang meningkat, terutama kebutuhan akan lahan permukiman (Soetomo, 2009). Kota yang semakin padat tidak dapat mengakomodir kebutuhan tersebut sehingga berkembang ke wilayah sekitar kota yang dikenal dengan urban fringe (Kusumantoro, 2007). Wilayah pinggiran merupakan wilayah yang letaknya berada di luar batas administrasi kota dengan karakteristik peralihan kawasan antara kota dan desa (Pontoh & Kustiwan, 2009). Wilayah pinggiran mengatasi kebutuhan akan lahan terutama tuntutan lahan permukiman (Dwiyanto & Sariffuddin, 2013). Minimnya lahan di kota menjadikan wilayah pinggiran berkembang secara dinamis dalam perubahan fisik kawasan terutama perubahan penggunaan lahan (Pratama & Ariastita, 2016; Putra & Pradoto, 2016).

Morfologi sendiri berasal dari kata morf yang berarti bentuk, sehingga morfologi juga diartikan sebagai bentuk kenampakan fisik kawasan (James & Bound, 2009). Seiring berkembangnya waktu memunculkan perubahan sosial, perubahan tersebut terwujud dalam bentuk fisik kawasan. Produk perubahan sosial dalam fisik kawasan dikenal dengan morfologi. Morfologi merupakan kenampakan fisik kawasan yang ditinjau dari stuktur yang membentuk bentuk kenampakan tertentu. Kenampakan fisik morfologi bukan hanya bentuk melainkan adanya hubungan antar kawasan (Dahal, Benner, & Lindquist, 2017).

Morfologi memiliki tiga komponen dalam mencermati kondisi fisik kawasan. Komponen tersebut ditinjau dari penggunaan lahan kawasan yang mencerminkan aktivitas kawasan, pola sirkulasi atau pola jaringan jalan yang menghubungkan antar kawasan, dan pola bangunan beserta fungsinya (Soetomo, 2009). Komponen morfologi secara struktural dibedakan menjadi jaringan jalan, kapling, dan bangunan. Ketiganya memiliki hubungan atau keterkaitan satu dengan yang lain (Tallo, Pratiwi, & Astutik, 2014). Bentuk morfologi dibedakan menjadi bentuk kompak dan bentuk tidak kompak. Bentuk kompak meliputi bentuk bujur sangkar, empat persegi panjang, bulat, kipas, pita, dan gurita. Bentuk tidak kompak meliputi bentuk terpecah, berantai, terbelah, dan stellar (Yunus, 2005).

Penggunaan lahan merupakan salah satu komponen dalam morfologi. Karakteristik kenampakan penggunaan lahan pada wilayah pinggiran berupa lahan terbangun dengan fungsi permukiman, jasa, dan industri (Yunus, 2008). Penggunaan lahan dalam morfologi ditinjau dari komposisi penggunaan lahan yang mencerminkan penggunaan lahan campuran atau tidak (Burton, 2002). Pola jaringan jalan merupakan kumpulan jaringan jalan yang berhubungan dan membentuk suatu model. Ada 6 pola jaringan jalan yaitu pola grid, pola radial, pola cincin radial, pola spinal, pola heksagonal, dan pola delta (Morlok, 1991). Bangunan merupakan salah satu komponen morfologi, ada 3 pola bangunan yaitu pola homogen, heterogen, dan menyebar (Zahnd, 2008). Pola bangunan tidak terlepas dari kepadatan bangunan. Kepadatan bangunan dibedakan menjadi tiga menurut (Tyas, Danial, & Izjrail, 2013) kepadatan tinggi (BCR > 70%), kepadatan sedang (50% <BCR< 70%), dan kepadatan rendah (BCR < 50%). Perpaduan ketiga karakteristik komponen dapat membentuk bentuk morfologi kawasan. Bentuk morfologi kawasan tidak dapat hanya ditentukan dari satu komponen, melainkan ketiganya. Karakteristik komponen tiap bentuk morfologi dapat dilihat lebih lanjut dalam (tabel 1).

Kepadatan Kota Surakarta mencapai 11.530,99 jiwa/km2 (BPS, 2015). Hal tersebut menjadikan kebutuhan akan ruang untuk memenuhi aktivitas Kota Surakarta berkembang pada wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta. Fungsi wilayah pinggiran sebagai permukiman memenuhi kebutuhan ruang akan perumahan. Permukiman berkembang pada sebagian Kelurahan Makamhaji dan Gentan. Hal tersebut ditunjang dengan munculnya perumahan seperti Gentan Baru 1, Gentan Baru 2, dan Jetis Permai.

Tabel 1

Sumber : Tyas, dkk. (2013), Zahnd (2008), Yunus (2005), Burton (2002), Morlok (1991)

Fasilitas yang menunjang aktivitas permukiman seperti fasilitas perdagangan dan jasa berkembang pada kawasan tersebut, salah satunya adalah munculnya Luwes Gentan dan pasar modern seperti Alfamart atau Indomart. Kepadatan pada kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta terbilang memiliki kepadatan tinggi. Perubahan penggunaan lahan pada kawasan ini dinamis. Aksesbilitas kawasan ini terbilang memadai karena dilalui jalan kolektor sekunder. Jalan tersebut menghubungkan Kota Surakarta dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Klaten.

Bentuk kenampakan fisik kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta yang berkembang dengan fungsi permukiman. Perkembangan yang terus menerus tanpa pengendalian mengakibatkan bentuknya acak sehingga sulit memprediksi kebutuhan kedepannya. Perlu adanya kajian terkait bentuk morfologi kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta sehingga masalah kedepannya dapat dihindari.

table of content

2. METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian terletak di sebagian Kelurahan Gentan dan Kelurahan Makamhaji, Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kedua kelurahan tersebut (Kelurahan Gentan dan Kelurahan Makamhaji) berbatasan langsung dengan Kota Surakarta.

Metode dalam penelitian ini adalah metode diskriptif. Metode diskriptif berusaha menggambarkan dan menginterpretasikan objek sesuai dengan keadaan yang ada (Sugiyono, 2010). Batasan substansi yang dibahas dalam penelitian ini adalah komponen dan bentuk morfologi. Komponen morfologi berupa penggunaan lahan, pola jaringan jalan, dan bangunan (kepadatan dan pola) dijadikan sebagai variabel dalam penelitian.

Cara memperoleh data dalam penelitian ini dengan survei data primer dan survei data sekunder. Survei data primer, survei dan observasi lapangan terkait penggunaan lahan, dimensi jalan, dan kepadatan bangunan. Peneliti menggidentifikasi kondisi komponen morfologi secara langsung. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan data terbaru. Dalam suvei data primer menggunakan peta citra satelit dengan skala 1:1000 sebagai borang survei.

Survei data sekunder, data didapat dari instansi terkait dengan penelitian bentuk morfologi wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta. Data yang dicari antara lain peta citra satelit, peta kepadatan bangunan, peta penggunaan lahan, dan peta pola jaringan jalan. Data tersebut didapat dari Dinas Pekerjaan Umum dan Badan Perencanaan dan Pembangunan. Data dimensi jalan didapat dari Dinas Perhubungan Kabupaten Sukoharjo.

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu teknik identifikasi komponen morfologi dan analisis bentuk morfologi.

Identifikasi Komponen Morfologi. Penggambaran karakteristik komponen morfologi. Karakteristik terkait penggunaan lahan, pola jaringan jalan, dan bangunan (kepadatan dan pola). Identifikasi kondisi eksisting merupakan interpretasi peta. Penggambarannya dituangkan dalam tabel dan diskriptif untuk menggambarkan komponen morfologi.

Analisis Bentuk Morfologi. Tahapan analisis untuk mendapatkan hasil penelitian bentuk morfologi kawasan permukiman selatan Kota Surakarta. Analisis ini dilakukan dengan memadukan karakteristik komponen morfologi. Hasil perpaduan tersebut dianalisis sehingga dapat mengetahui bentuk morfologinya.

table of content

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Komponen Morfologi. Komponen morfologi terdiri dari tiga elemen yaitu penggunaan lahan, pola jaringan jalan, dan bangunan (pola dan kepadatan). Identifikasi bertujuan untuk mengetahui karakteristik tiap komponen pembentuk morfologi yang ada pada kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta. Karakter tiap komponen ini menjadi masukan dalam analisis bentuk morfologi kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta

Penggunaan Lahan. Kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta didominasi dengan penggunaan lahan permukiman dengan persentase 63,30 %. Dominasi penggunaan lahan permukiman sesuai dengan fungsi wilayah pinggiran sebagai limpasan Kota Surakarta. Pada kawasan ini juga didominasi oleh penggunaan lahan perdagangan jasa dan pertanian yang berturut-turut sebesar 7,93% dan 8,37 %. Kawasan permukiman tidak terlepas dari perkembangan perdagangan jasa, terbukti dari penggunaan lahan perdagangan jasa kawasan ini mencapai 31,155 Ha. (Tabel 2). Perbandingan antara penggunaan lahan permukiman dengan pertanian dan perdagangan jasa yaitu 9:1:1. Hal tersebut menunjukan adanya keberagaman atau penggunaan lahan campuran ditinjau dari komposisinya.

Tabel 2

Sumber : Dinas Pekerjaan Umum (2012), Survey Primer, 2016

Penggunaan lahan pada kawasan dibedakan dalam penggunaan lahan terbangun dan penggunaan lahan tidak terbangun. Total luas penggunaan lahan terbangun pada kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta adalah 322,579 Ha atau setara dengan 82,12% total luas kawasan. Penggunaan lahan tidak terbangun seluas 70,238 Ha atau sekitar 17,88%. Perbandingan penggunaan lahan terbangun dengan lahan tidak terbangun pada kawasan permukiman urban fringe selatan Kota Surakarta adalah 5:1. Hal tersebut berarti didominasi penggunaan lahan terbangun.

Pola penggunaan lahan perdagangan jasa mengikuti pola jaringan jalan yang ada. Pola penggunaan lahan yang mengikuti jalan membentuk pola memita. Penggunaan lahan yang mengikuti pola jaringan jalan menunjukan adanya pemusatan aktivitas pada kawasan tersebut. Hal tersebut menunjukan pusat kawasan yang identik dengan penggunaan lahan perdagangan jasa pada kawasan permukiman urban fringe selatan Kota Surakarta. Pusat kawasan permukiman urban fringe selatan Kota Surakarta berada sepanjang Jl. Slamet Riyadi dan Jl. Raya Pajang, dan Jl. Jetis Raya. Kenampakan penggunaan lahan perdagangan jasa menunjukan pemusatan aktivitas pada sepanjang jalan dengan fungsi kolektor primer. Pola penggunaan lahan permukiman mengelilingi pola penggunaan lahan perdagangan jasa yang mengikuti pola jaringan jalan.

Pola penggunaan lahan pertanian atau lahan tidak terbangun didominasi pada Kelurahan Gentan. Hal tersebut dikarenakan lokasinya yang lebih jauh dibanding dengan Kelurahan Makamhaji. Perkembangan penggunaan lahan kawasan wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta sebanding dengan kedekatan Kota Surakarta. Kawasan dengan jarak lebih dekat dengan Kota Surakarta penggunaan lahan terbangunnya lebih tinggi dibandingkan dengan jaraknya lebih jauh dari Kota Surakarta. Hal tersebut terbukti pola penggunaan lahan pertanian banyak berada pada Kelurahan Gentan. Posisi Kelurahan Gentan yang jaraknya lebih jauh dari Kota Surakarta dibanding dengan Kelurahan Makamhaji yang berdekatan dengan Kota Surakarta (Gambar 1).

Gambar 1. Peta Penggunaan Lahan Kawasan Permukiman Urban Fringe Selatan Kota Surakarta (Sumber : Dinas Pekerjaan Umum (2012); Google Earth Pro (2015); Survey primer (2016)

Pola Jaringan Jalan. Pola jaringan jalan merupakan kenampakan struktur jalan yang membentuk suatu tatanan tertentu. Pola jaringan jalan dibentuk dari kenampakan fisik atau struktur jaringan jalan utama dan dimensi jalan (lebar jalan). Dimensi lebar jaringan jalan pada kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta beragam. Keberagaman tersebut terbukti dengan dimensi jalan arteri primer dengan lebar 16 m, kolektor sekunder 7-8 m, dan lokal primer dengan lebar 6 m (Tabel 3). Dimensi jaringan jalan pada kawasan ini menunjukan tingkat berjenjang sesuai dengan fungsi jalan. Fungsi jalan dengan peranan lebih tinggi memiliki dimensi jalan yang lebih lebar dibanding dengan fungsi jalan dengan peranan lebih rendah.

Selain dimensi jaringan jalan, bentuk dasar dari struktur jaringan jalan yang menjadi masukan pola jaringan jalan. Jalan utama pada kawasan ini berupa jalan kolektor sekunder dikarenakan jalan ini yang melintasi pusat kawasan. Bentuk dasar jaringan jalan pada kawasan wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta adalah bercabang zig zag yang menyerupai kenampakan bentuk Z. Bentuk jalan utama jalan kolektor sekunder (memiliki dimensi lebar lebih besar) bercabang dengan jalan kolektor (dimensi lebar lebih kecil). Percabangan pada jalan kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta merupakan percabangan simpang empat. Percabangan pada kawasan ini menunjukan penghubung antar kawasan baik antara pusat kawasan dengan sub pusat kawasan. Kondisi tersebut menunjukan pola jalan bercabang dengan hirarki. Jalan utama merupakan jalan pada pusat kawasan dan jalan percabangan menjangkau seluruh kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta.

Jaringan jalan ditinjau dari bentuk dasar jalan utama dan dimensi lebar pada kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta memiliki pola jalan spinal. Pola spinal diidentifikasi dari jalan kolektor sekunder pada kawasan permukiman sebagai jalan utama. Hal tersebut dikarenakan jalan yang berada di pusat kawasan yang kemudian memiliki cabang dengan fungsi jalan yang lebih rendah yaitu jalan lokal primer. Pola jaringan jalan spinal pada kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta memiliki bentuk dasar zig zag dan mendekati kenampakan bentuk Z (Gambar 2). Pola jalan spinal menunjukan kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta memiliki akses kesegala arah baik antar di dalam kawasan atau akses ke luar kawasan.

Tabel 3

Sumber : Dinas Pekerjaan Umum (2012); Google Earth Pro (2015); Dinas Perhubungan Informatika dan Komunikasi (2013); Survey primer (2016)

Gambar 2. Peta Pola Jaringan Jalan Kawasan Permukiman Urban Fringe Selatan Kota Surakarta.
Sumber : Dinas Pekerjaan Umum (2012); Google Earth Pro (2015); Survey primer (2016).

Bangunan (Kepadatan dan Pola). Kepadatan bangunan merupakan persentase kawasan terbangun dengan total luas lahan keseluruhan kawasan terbangun. Pada kawasan wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta memiliki tiga tingkatan kepadatan yaitu kepadatan rendah (BCR<50%), kepadatan sedang (50%<BCR<70%), dan kepadatan tinggi (BCR>70%). Kepadatan rendah pada kawasan ini identik dengan penggunaan lahan tidak terbangun seperti RTH, pertanian, dan kebun. Kepadatan sedang dengan BCR 50-70% terletak pada lokasi terluar kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta. Hal tersebut menunjukan jarak Kota Surakarta berbanding lurus dengan kepadatan wilayah pinggiran. Kepadatan tinggi dengan BCR > 70% terletak mendekati Kota Surakarta.

Kepadatannya terpusat sebagian Kelurahan Gentan yaitu permukiman perumahan yang dekat dengan Kota Surakarta. Kepadatannya juga terpusat pada sepanjang jalan kolektor sekunder, kolektor primer, dan lokal primer dengan penggunaan lahan komersial dan perkantoran dengan nilai ekonomi tinggi. Pada bagian yang lebih jauh dari jalan utama kepadatannya menurun antara 70-90% untuk lahan terbangun.

Gambar 3. Peta Kepadatan Bangunan Kawasan Permukiman Urban Fringe Selatan Kota Surakarta.
Sumber : Dinas Pekerjaan Umum (2012); Google Earth Pro (2015); Survey primer (2016).

Pola kepadatan kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta adalah tidak teratur (Gambar 3). Hal tersebut ditunjukan tidak ada keseragaman kepadatan pada kawasan ini. Namun pada sebagian kawasan kepadatannya membentuk zona piringan. Kawasan dekat dengan jaringan jalan utama kepadatannya tinggi sekitar 91-100%, menurun pada kepadatan di belakangnya sekitar 71-90%, dan sebanding dengan jarak jalan utama.

Kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta mempunyai pola bangunan heterogen (Gambar 4). Pola bangunan dilihat dari masing-masing bentuk bangunan yang memiliki bentuk dasar yaitu persegi atau persegi panjang. Pola bangunan menuntut keseimbangan dan keteraturan. Kawasan ini jika ditinjau dari bentuk bangunan maka dapat dikatakan seimbang dan teratur dengan bentuk utama persegi atau persegi panjang. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pola bangunan pada kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta merupakan pola heterogen. Hal tersebut dikarenakan pada kawasan ini memiliki dua pola yang beraturan yaitu persegi dan persegi panjang dan kepadatan yang beragam.

Gambar 4. Peta Pola Bangunan Kawasan Permukiman Urban Fringe Selatan Kota Surakarta.
Sumber : Dinas Pekerjaan Umum (2012); Google Earth Pro (2015); Survey primer (2016).

Analisis Bentuk Morfologi. Bentuk morfologi ditinjau dari 3 komponen yaitu penggunaan lahan, pola jaringan jalan, dan pola bangunan. Karakteristik ketiga komponen tersebut yang menjadi masukan dalam analisis bentuk morfologi. Karakteristik komponen memiliki peran atau kontribusi masing-masing dalam bentuk morfologi. Perpaduan hasil karakteristik komponen morfologi yang telah diidentifikasi pada tahapan sebelumnya. Hasil perpaduan tersebut menunjukan bentuk morfologi gurita kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta. Perpaduan komponen untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4. Bentuk morfologi gurita memiliki karakteristik khusus yaitu suatu kawasan memiliki pusat sebagai inti dan bangunan mengikuti pola jaringan jalan yang polanya spinal atau bercabang.

Tabel 4

Bentuk morfologi gurita didasari oleh pusat kawasan berada pada jalan utama yaitu jalan kolektor sekunder. Pusat kawasan yang dimaksud dengan karakteristik penggunaan lahan perdagangan jasa dan kepadatan tinggi antara 91-100%. Perkembangan pusat kawasan diteruskan dengan lahan terbangun yang mengikuti pola jaringan jalan bercabang (spinal). Kepadatan pada percabangan kawasan memiliki kepadatan lebih rendah antara 71-90%. Penjelasan diatas menunjukkan bentuk morfologi gurita.

Bentuk morfologi gurita pada kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta terdiri dari tiga bagian. Pertama, bagian inti yaitu pusat kawasan. Pusat kawasan menandakan konsentrasi aktivitas yang berdampak pada kepadatan bangunan. Aktivitas pada pusat kawasan wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta ditandai dengan aktivitas komersial (perdagangan jasa). Aktivitas pusat kawasan dibuktikan dengan penggunaan lahan perdagangan jasa yang dapat mengakomodir kebutuhan kawasan. Pusat kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta berada di sepanjang Jl. Slamet Riyadi, Jl. Raya Pajang, dan Jl. Jetis Raya dengan fungsi jalan kolektor sekunder.

Bagian kerangka, yaitu struktur dasar kenampakan morfologi kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta. Kerangka dibentuk oleh pola jaringan jalan. Kerangka dasar pada bentuk gurita kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta adalah spinal. Kerangka spinal yang dimasud adalah jaringan jalan yang bercabang dengan akses kesegala arah. Kerangka ini menunjukkan hubungan antar kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta. Kerangka ini menjadi dasar perkembangan pada badan morfologi kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta. Kerangka bentuk morfologi pada kawasan ini berupa jalan kolektor sekunder dan kemudian bercabang dengan jaringan jalan dengan fungsi lebih rendah. Kerangka ini mendekati kenampakan Z (Gambar 5).

Gambar 5. Analisis Bentuk Morfologi Kawasan Permukiman Urban Fringe Selatan Kota Surakarta

Bagian badan, merupakan perkembangan bagian kerangka. Bagian badan biasanya identik dengan lahan terbangun yang berkembang sekitar pusat kawasan kemudian mengikuti pola jalan spinal. Bagian badan pada kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta kenampakan lahan terbangun yang menjari sesuai bentuk kerangka spinal.

Kepadatan pada bagian badan ini lebih rendah dibanding dengan kepadatan bagian inti (pusat kawasan). Ketiga bagian bentuk morfologi gurita kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta mencirikan kenampakan yang sesuai dengan teori yang ada. Bentuk morfologi gurita memiliki inti berupa pusat kawasan dan kemudian memiliki penjalaran kenampakan fisik yang sesuai dengan jaringan jalan (Gambar 6).

Gambar 6. Bentuk Morfologi Kawasan Permukiman Urban Fringe Selatan Kota Surakarta

Kawasan wilayah pinggiran yang identik dengan penggunaan lahan permukiman pada selatan Kota Surakarta memiliki kenampakan bentuk morfologi gurita. Perkembangan pada wilayah pinggiran seiring berjalannya waktu mengakibatkan adanya perkembangan fisik. Hai itu terbukti dengan adanya perkembangan pusat kawasan yang merembet pada kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta. Bentuk morfologi gurita pada kawasan ini juga menunjukkan struktur yang menjari sehingga perkembangan fisiknya kesegala arah.

table of content

4. KESIMPULAN

Bentuk morfologi kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta diidentifikasi dari tiga komponen. Komponen tersebut yaitu penggunaan lahan campuran, dan pola komersial memita, pola jalan spinal (bercabang), kepadatan terpusat pada jaringan jalan utama, dan pola bangunan heterogen. Kenampakan tersebut menunjukkan bentuk morfologi gurita. Bentuk morfologi gurita pada kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan kota Surakarta memiliki tiga bagian utama yaitu inti, kerangka, dan badan. Inti bentuk gurita berada sepanjang jalan utama dengan penggunaan lahan komerssial dan kepadatan tinggi. Kerangka berbentuk spinal atau cabang dengan dimensi berjenjang dan badan morfologi berkembang sekitar pusat kawasan hingga mengikuti pola jaringan jalan. Bentuk morfologi gurita kawasan permukiman wilayah pinggiran selatan Kota Surakarta diharapkan dapat menjadi masukan pembangunan dan perencanaan kawasan wilayah pinggiran kedepannya. Penelitian ini jauh dari sempurna dikarenakan adanya keterbatasan penulis yang mengkaji bentuk morfologi pada kondisi sekarang sehingga morfologi hanya dipandang sebagai produk. Rekomendasi penulis untuk penelitian selanjutnya dapat mengkaji proses terbentuknya morfologi tersebut.

table of content

5. UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada segenap anggota laboratorium perumahan dan permukiman Program Studi PWK UNS, PPIW LLM UNS, dan semua keluarga Program Studi PWK UNS yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu atas kerjasama, dukungan, dan bimbingannya.

table of content

6. DAFTAR PUSTAKA

BPS. (2015). Kota Surakarta dalam Angka 2015. Surakarta: Badan Pusat Statistik.

Burton, E. (2002). Measuring Urban Compactness in UK Towns and Cities. Environment and Planning B: Planning and Design, 29(2), 219-250. doi: https://doi.org/10.1068/b2713

Dahal, K. R., Benner, S., & Lindquist, E. (2017). Urban hypotheses and spatiotemporal characterization of urban growth in the Treasure Valley of Idaho, USA. Applied Geography, 79, 11-25. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.apgeog.2016.12.002

Dinas Pekerjaan Umum. (2012). Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Baki Tahun 2012-2032. Sukoharjo: Dinas Pekerjaan Umum Kab. Sukoharjo.

Dinas Perhubungan Informatika dan Komunikasi. (2013). Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten Sukoharjo Tahun 2013-2028 . Sukoharjo: Dinas Perhubungan Informatika dan Komunikasi Kabupaten Sukoharjo.

Dwiyanto, T. A., & Sariffuddin. (2013). Karakteristik Belanja Warga Pinggiran Kota (Studi Kasus: Kecamatan Banyumanik Kota Semarang). Jurnal Pengembangan Kota, 1(2), 118-127. doi: http://dx.doi.org/10.14710/jpk.1.2.118-127

Google Earth Pro. (2015). Citra Satelit (online). Retrieved from https://www.google.com/earth/

James, P., & Bound, D. (2009). Urban Morphology types and open space distribution in urban core areas. Urban Ecosystems, 12 (4), 417-424. doi: https://doi.org/10.1007/s11252-009-0083-1

Kusumantoro, I. P. (2007). Menggagas Bentuk Ruang Kota Alternatif: Upaya Mereduksi Intensitas Pergerakan Lalu Lintas Kota. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 18(3), 78-90.

Morlok, E. K. (1991). Pengantar teknik dan perencanaan transportasi (Introduction to transportation engineering and planning) . Jakarta: Penerbit Erlangga.

Pontoh, N. K., & Kustiwan, I. (2009). Pengantar Perencanaan Perkotaan. Bandung: Penerbit ITB.

Pratama, I. P. P. A., & Ariastita, P. G. (2016). Faktor-Faktor Pengaruh Ukuran Urban Compactness di Kota Denpasar, Bali. Jurnal Teknik ITS, 5(1), C6-C11. didapatkan dari http://www.ejurnal.its.ac.id/index.php/teknik/article/view/11095

Putra, D. R., & Pradoto, W. (2016). Pola dan Faktor Perkembangan Pemanfaatan Lahan di Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak. 2016, 4(1), 67-75. doi: http://dx.doi.org/10.14710/jpk.4.1.67-75

Soetomo, S. (2009). Urbanisasi dan Morfologi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: CV. Alfabeta.

Tallo, A. J., Pratiwi, Y., & Astutik, I. (2014). Identifikasi Pola Morfologi Kota (Studi Kasus: Sebagian Kecamatan Klojen, Di Kota Malang). Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 25(3), 213-227. doi: http://dx.doi.org/10.5614%2Fjpwk.2015.25.3.3

Tyas, W. I., Danial, D. M., & Izjrail, A. B. (2013). Kajian Bentuk Dan Tatanan Massa Di Kawasan Bangunan Ci-Walk (Cihampelas Walk). REKA KARSA, 1(2), 1-11. didapatkan dari http://ejurnal.itenas.ac.id/index.php/rekakarsa/article/view/262

Yunus, H. S. (2005). Manajemen kota: perspektif spasial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yunus, H. S. (2008). Dinamika wilayah peri-urban: determinan masa depan kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Zahnd, M. (2008). Model Baru Perancangan Kota yang Kontekstual . Yogyakarta: Kanisius.

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Copyright (c) 2017 Jurnal Pengembangan Kota

License URL: http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0