MEMADUKAN STRATEGI, MEWUJUDKAN KETAHANAN: SEBUAH PEMBELAJARAN DARI PENGEMBANGAN STRATEGI KETAHANAN KOTA DI SEMARANG
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang
Issue Volume 4 No. 2 (2016)
DOI http://dx.doi.org/10.14710/jpk.4.2
Copyright (c) 2017 Jurnal Pengembangan Kota
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License
'Integrasi' adalah suatu jargon yang sering digunakan oleh hampir semua disiplin, dari bidang rekayasa hingga ekonomi, dan dari ilmu fisika hingga ilmu sosial. Tantangan untuk mengembangkan strategi yang terpadu telah menjadi pesan utama di berbagai literatur mengenai studi-studi pembangunan kota. Sementara di negera yang telah maju konsep integrasi telah dimanifestasikan dalam berbagi aspek pembangunan kota, banyak aktor dan pengambil kebijakan di negara-negara berkembang masih berjuang untuk mewujudkan integrasi. Artikel ini menyoroti upaya yang baru saja dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang dalam meningkatkan ketahanan kota melalui perumusan dokumen strategi ketahanan kota. Artikel memperkenalkan suatu kerangka analisis dalam mendorong integrasi strategi. Artikel ini dikembangkan dari penelitian yang menerapkan pendekatan kualitatif dengan memanfaatkan posisi penulis utama sebagai coordinator lintas tema atau cross-focus areas pada penyusunan strategi ketahanan kota dalam inisiatif 100 Resilient City. Artikel ini diharapkan membantu praktisi perkotaan dalam melakukan pendekatan langkah-demi-langkah menuju integrasi strategi-strategi perkotaan, khususnya di bidang ketahanan kota.
[Title: Integrating Strategies, Achieving Resilience: A lesson Learned from City Resilience Strategy in the City of Semarang]. ‘Integration’ is a buzz-word in almost all disciplines, from engineering to economy and from physical to social science. Invitations to develop more integrated strategies have been a central message in urban development studies and literature. While in developed countries the notion of integration has been manifested in various aspect of urban development, most of actors and policy makers in urban developing countries have been struggling for achieving integration. This paper highlights recent efforts of the city government of Semarang in enhancing urban resilience trough development of city resilience strategy. The objective of this research paper is to introduce an analytical framework to foster integration of strategies. This research employs qualitative approach. It takes advantage from the role of researcher as cross-focus areas coordinator in development of the city resilience strategy. This paper helps urban practitioners to do step-by-step approach toward integration of urban strategies, particularly in the field of urban resilience.
Keyword: Integrated strategy; Urban resilience; 100 Resilient Cities; Cross Focus Area; Semarang
1. PENDAHULUAN
Disamping membawa sejumlah manfaat seperti terbukanya peluang kerja karena meningkatnya investasi dalam skala yang bervariasi (Turock & McGranahan, 2013), proses urbanisasi juga telah menjadikan kota menjadi lokasi yang semakin rentan (Satterthwaite, Huq, Pelling, Reid, & Lankao, 2009). Laporan dari UN-Habitat (2012) merefleksikan fenomena ini. Proses urbanisasi yang meningkat menciptakan konsentrasi fisik dan penduduk yang masif di perkotaan. Tahun 2009 merupakan saat dimana total penduduk perkotaan dunia memiliki jumlah yang sama dengan jumlah penduduk pedesaan (UN-Habitat, 2012). Masalah-masalah yang telah ada sebelum adanya ledakan urbanisasi, seperti masalah pelayanan kebutuhan air bersih dan energi, permukiman, transportasi, kesehatan, pangan dan kesenjangan menjadi semakin sulit dan kompleks untuk ditangani.
Pada saat yang sama, studi-studi terkini menyatakan bahwa kota mendapatkan pengaruh dari proses-proses perubahan yang terjadi secara global, diantaranya perubahan iklim (Hardoy & Lankao, 2011; Satterthwaite & Dodman, 2013; UN-Habitat, 2011). Bahkan, IPCC (2014) misalnya menempatkan kota sebagai salah satu bab tersendiri dalam laporannya. Setengah total populasi dunia di perkotaan memiliki kontribusi terhadap 71% emisi karbon dunia yang mempengaruhi perubahan iklim secara global (IPCC, 2014). Sementara itu, pola urbanisasi juga meningkatkan kerentanan terhadap dampak perubahan iklim (Friend, dkk., 2014). Terlebih lagi, transformasi perkotaan akibat urbanisasi akan menyebabkan peningkatan jumlah penduduk di perkotaan mencapai 70 persen pada tahun 2050 (UN-Habitat, 2012).
Studi lainnya menyatakan bahwa kota juga dipengaruhi oleh perubahan global yang terjadi diluar batas-batas territorial perkotaan, seperti deforestasi dan kerusakan ekosistem. Oleh karena itu, seringkali kota mengalami berbagai bentuk resiko akibat perubahan global tersebut seperti banjir baik akibat intensitas hujan yang ekstrim maupun peningkatan paras muka air laut, abrasi dan longsor, serta kabut asap pada musim kering. Disamping resiko diatas, kota juga mengalami resiko dari kejadian-kejadian tidak terduga yang sulit diprediksi, baik akibat fenomena alam seperti gempa bumi atau wabah penyakit maupun fenomena sosial seperti terorisme dan konflik kekerasan. Pengelolaan perkotaan menghadapi tantangan baru seiring dengan urbanisasi yang cepat dan perubahan-perubahan global.
Kejadian yang cepat dan perubahan yang gradual tersebut diatas mampu melumpuhkan fungsi kota dimana konsentrasi investasi fisik dan sosial terakumulasi. Kejadian tersebut pada akhirnya menempatkan masyarakat kota, khususnya mereka yang terkena dampak dan tergolong rentan, dalam ketidakpastian kehidupan. Ketidakpastian tersebut seringkali berkepanjangan manakala sistem perkotaan tidak dipersiapkan untuk menghadapi perubahan-perubahan tersebut. Sistem perkotaan merupakan suatu jejaring kompleks, yang terdiri dari empat sub sistem yaitu (Meerow et al, 2016): jaringan pemerintahan, jaringan material dan aliran energi, jaringan infrastruktur perkotaan, dan jaringan sosio-ekonomi yang dinamis. Konsep ketahanan kota (urban resilience) dan perencanaan ketahanan (resilience planning) hadir untuk merespon perubahan tersebut. Sejauh ini konsep ketahanan kota telah diujicobakan untuk tujuan spesifik, misalnya untuk merespon dampak perubahan iklim misalkan oleh kota-kota di Asia (Tyler, Reed, MacClune, & Chopde, 2010), di South America dan Africa (Carmin, Anguelovski, & Roberts, 2012), di berbagai tempat lainnya seperti di US (Mazmanian, Jurewitz, & Nelson, 2008; Rabe, 2008) dan di Canada (Richardson, 2010).
Davoudi (2012) menyebutkan bahwa konsep ketahanan pertama kali digunakan oleh para ilmuwan fisika untuk menunjukkan karakteristik pegas dan menggambarkan stabilitas bahan dan ketahanannya terhadap guncangan eksternal. Pada tahun 1960an, seiring dengan perkembangan pemikiran sistem (system thinking), konsep ketahanan memasuki bidang lingkungan, dan diinterpretasikan dengan makna yang berbeda dengan konsep yang ada sebelumnya. Selanjutnya, Holling (1996) merupakan salah satu ilmuwan yang telah berhasil memberikan penjelasan yang memadahi tentang konsep ketahanan, yang kemudian banyak dipakai hingga saat ini.
Holling melihat konsep ketahanan sebagai kemampuan sistem baik secara teknis maupun ekologis untuk melanjutkan fungsi atau untuk tetap ‘tangguh’ ketika terjadinya suatu perubahan. secara teknis dan lingkungan. Secara teknis, Holling (1996) mengartikan ketahanan sebagai kemampuan sistem untuk kembali ke keseimbangan atau kondisi yang tenang setelah terjadinya gangguan. Ketahanan teknis lebih berfokus pada pencapaian keseimbangan, kondisi equilibrirum atau stabilitas dalam sistem ketahanan setelah terjadinya suatu gangguan (Holling, 1996). Ketahanan merupakan ukuran kapasitas sistem untuk mengatasi guncangan dan berbagai perubahan, dimana pada saat yang sama tetap mempertahankan suatu struktur dasar dan fungsi yang sama (Wilde, 2011). Semakin cepat suatu sistem kembali seperti semula, maka sistem tersebut yang lebih tangguh. Perspektif ini menekankan pada efisiensi, konsistensi dan prediktabilitas.
Adapun secara ekologis, ketahanan didefinisikan sebagai besarnya gangguan yang dapat diserap sebelum terjadinya perubahan pada struktur sistem (Holling, 1996). Perbedaan mendasar pengertian ini menekankan bahwa ketahanan tidak hanya masalah waktu, tetapi juga seberapa banyak gangguan yang dapat diredam dan tetap bisa dikelola dalam batas kritis. Ketahanan menekankan pada pengurangan kerusakan jangka pendek dan untuk membangun kapasitas adaptasi jangka panjang.
Adapun IPPC (2012, p. 5) mendefinisikan Ketahanan (resilience) adalah ‘kondisi sebuah sistem beserta bagian-bagian komponennya yang mampu untuk mengantisipasi, menyerap atau pulih kembali dari berbagai kejadian-kejadian yang tidak diharapkan dalam waktu yang cepat dan cara yang efisien, yang didalamnya termasuk melalui upaya perlindungan, peningkatan dan perbaikan struktur dan fungsi sistem yang mendasar’ dan memberikan fokus pada aspek pembelajaran (ISET, 2011). Kejadian yang tidak diharapkan dalam konteks ini bisa berupa tekanan (pressures) dan guncangan (shocks). Tekanan mengacu pada perubahan gradual, sementara itu guncangan diasosiasikan sebagai perubahan yang cepat, mendadak, sulit untuk diprediksi, dan seringkali berada diluar kesadaran actor-aktor dan pengambil keputusan pada tingkat kota. Elemen penting lainnya dari definisi ketahanan adalah kapasitas kembali pulih seperti sediakala. Elemen ini dapat juga diartikan sebagai daya lenting, yang tentunya sangat berbeda dari satu kota dengan kota lainnya, dan dari satu komunitas dengan komunitas lainnya. Strategi ketahanan (resilience strategies) terdiri dari sejumlah intervensi atau aksi yang diharapkan mampu meningkatkan ketahanan suatu kota, baik dalam tataran sistem, agen, dan institusi (ISET, 2011).
Aksi atau intervensi menuju ketahanan harus memenuhi sejumlah kriteria. Satu diantaranya adalah kriteria keterpaduan atau ‘yang bersifat terpadu’ (integrated). Tidak diragukan lagi, kriteria keterpaduan berdiri sama vitalnya dengan kriteria-kriteria yang lain. [1] Namun demikian, keterpaduan merupakan sebuah kata yang menjadi jargon hampir di semua disiplin, dari disiplin rekayasa hingga ekonomi, dan dari ilmu pasti hingga ilmu sosial. Misalnya, Scarse and Sheate (2002) mengidentifikasi empat belas makna keterpaduan, yang pada dasarnya dapat dibingkai dalam lima tipe keterpaduan yaitu: pelaku dan kewenangan, substansial, spasial, data dan proses, serta pengarusutaman atau mainstreaming. Dorongan untuk mengembangkan strategi yang lebih terpadu menjadi pesan utama dalam studi dan literature pembangunan kota. Sejak tiga decade yang lampau misalnya kota-kota di negara berkembang mulai mengembangkan konsep penataan lingkungan yang terpadu dengan investasi infrastruktur (Silas, 1992). Robinson et al (2003) menggarisbawahi pentingnya integrasi dalam proses perencanaan pembangunan. Newel and Proust (2012) dalam collaborative conceptual modeling yang mereka kembangkan melihat keterpaduan sebagai cara untuk mencegah umpan balik negative dari sebuah strategi atau aksi. Survei yang dilakukan Gober et al (2013) menunjukkan walaupun actor pembangunan mengerti tentang interkoneksi antara lahan dan air, namun saat ini sedikit inisiatif yang menghubungkan keduanya sekaligus. Sementara di negara-negara maju konsep keterpaduan telah dimanifestasikan dalam berbagai aspek pembangunan kota dan masih menghadapi sejumlah tantangan, sebagian besar aktor dan pembuat kebijakan di negara-negera berkembang masih berjuang untuk mencapai keterpaduan.
Penelitian ini akan mengkaji konsep integrasi yang dipetik dari upaya terkini yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang dalam meningkatkan ketahanan kota. Kota Semarang menjadi kota pertama di Indonesia yang terpilih untuk berpartisipasi dalam program seratus kota berketahanan (100RC). Ini juga berarti bahwa Kota Semarang juga menjadi satu dari seratus kota di dunia yang tergabung dalam inisiatif global ketahanan kota yang didukung oleh Rockefeller Foundation. Proses pengembangan ketahanan kota dalam inisiatif ini sangat berbeda dengan proses perencanaan formal pada umumnya. Dalam kerangka 100RC, pemerintah kota telah mengidentifikasi sumber-sumber goncangan (shock) dan tekanan (pressure) dan menetapkan sejumlah focus area. Fokus area adalah dimensi prioritas yang perlu ditingkatkan performanya untuk meningkatkan ketahanan kota. Perumusan strategi ketahananan dalam skema 100RC tidak hanya bersandar pada strategi yang dihasilkan pada setiap focus area, namun juga strategi lintas tema atau cross-focus areas. Pada tahapan inilah, konsep integrasi atau keterpaduan mendapat ruang untuk bereksperimen dan mengartikulasikan proses keterpaduan.
Di Kota Semarang terdapat berbagai masalah yang terkait dengan kurangnya keterpaduan dalam merespon tantangan ketahanan kota. Pemkot-Semarang (2016) dalam dokumen city resilience strategy (CRS) mengidentifikasi masalah tersebut. Mulai dari masalah kebutuhan dasar (air, makanan, dan energi) hingga ke masalah mobilitas (integrasi moda transportasi publik), dan dari masalah kesehatan dan kebencanaan (persebaran wabah penyakit, longsor, banjir, dsb) hingga masalah sosial-ekonomi (ketenagakerjaan, pendidikan, dan usaha kecil menengah). Masalah tersebut masih ditangani secara sektoral yang membuat upaya meraih solusi yang lebih berwawasan ketahanan kurang maksimal. Misalkan, alternative penyediaan sumber air melalui pemanenan air hujan berdiri sendiri sebagai strategi menghadapi kekeringan dan kelangkaan air bersih. Sementara itu, optimalisasi regulasi tata ruang dan pengawasannya dilihat sebagai strategi yang berdiri sendiri untuk mengurangi resiko bencana. Sejauh ini belum ada upaya untuk melihat bahwa kedua strategi tersebut memiliki peluang integrasi. Walaupun aspek substansi dari integrasi strategi sangat penting untuk dibahas, lingkup studi ini lebih menekankan pada aspek metodologis proses integrasi itu sendiri.
table of content2. METODE PENELITIAN
Pendekatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Secara kualitatif, dalam penelitian ini peneliti berperan sebagai partisipan penelitian. Dengan kata lain, peneliti memanfaatkan keuntungan posisi sebagai coordinator lintas tema area ketahanan (cross-focus area) dalam penyusunan Strategi Ketahanan Kota atau City Resilience Strategy (CRS) Semarang. Dalam posisi ini, disamping bisa menyelami proses secara leluasa, peneliti juga leluasa dalam melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang relevan, seperti key person dari partner nasional 100 RC, city resilience officers, dan para coordinator fokus area atau sektor ketahanan.
Data. Penggalian data untuk studi ini (untuk mencapai tujuan penelitian pertama) sebagian berasal dari catatan lapangan peneliti dalam proses integrasi lintas tema penyusunan strategi ketahanan Kota Semarang.
table of content3. STUDI KASUS PROGRAM 100 RESILIENT CITY DI SEMARANG
Sejak awal 2015 Kota Semarang telah bergabung dalam inisiatif 100 kota berketahanan (Resilient Cities) atau dikenal dengan 100RC. Inisiatif ini merupakan dukungan dari Rockefeller Foundation dan Mercycorps Indonesia sebagai mitra nasional. Jika ditinjau keterlibatan Kota Semarang dengan kedua institusi ini telah dimulai sejak 2009 ketika Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN) digulirkan dan sebuah dokumen ketahanan kota untuk adaptasi perubahan iklim telah berhasil dirumuskan berikut sejumlah aksi adaptasi. Sebagaimana inisiatif terdahulu, salah satu target 100RC adalah perumusan dokumen ketahanan kota atau CRS. Namun demikian, sudut pandang penyusunan dokumen ketahanan kota dalam inisiatif 100RC ini diperluas dengan memperhatikan beragam guncangan (shock) dan tekanan (stress) yang dialami oleh kota.
Sementara fase pertama dari 100RC difokuskan pada identifikasi guncangan dan tekanan, fase kedua difokuskan untuk perumusan strategi ketahanan kota. Dokumen ketahanan kota itu sendiri akhirnya telah dirilis oleh Pemerintah Kota Semarang pada pertengahan 2016 yang juga bertepatan dengan pelaksanaan ACCCRN Learning Forum yang menandai berakhirnya inisiatif ACCCRN secara formal. [2]
Secara umum penyusunan dokumen ketahanan Kota Semarang berangkat dari tiga tema makro, yaitu: (i) kebutuhan dasar dan sekuritas (basic need and security), (ii) pergerakan (mobility), dan (iii) kapasitas (capacity). Pada akhirnya, kerangka dokumen ketahanan Kota Semarang memuat 53 inisiatif aksi yang dihimpun dalam 18 strategi dan dibingkai dalam 6 (enam) strategi pillar sebagai berikut: Air dan energy berkelanjutan, Peluang ekonomi baru, Resiko dampak bencana dan wabah penyakit, Mobilitas terpadu, Transparansi informasi public dan tata pemerintahan, dan SDM berdaya saing. Pada halaman pengantar, Walikota Semarang telah mengilustrasikan proses penyusunan dokumen secara singkat berikut harapan atas dokumen tersebut:
Strategi tersebut [dalam Dokumen Strategi Ketahanan Kota] dirumuskan melalui proses yang inklusif dengan melibatkan seluruh elemen kota. Diharapkan, dokumen ini dapat menjadi salah satu pedoman dalam melaksanakan aksi nyata menuju kota Semarang yang berketahanan, yang tidak hanya dapat dilakukan oleh SKPD di lingkungan pemerintah kota, namun juga seluruh masyarakat Kota Semarang (Pemerintah Kota Semarang, 2016: p. 7).
Namun demikian, salah satu proses yang menarik sekaligus menantang dan perlu dieksplorasi lebih jauh adalah proses perumusan integrasi strategi dan aksi yang dihasilkan dalam dokumen ketahanan kota. Dengan kata lain upaya-upaya untuk menciptakan keterpaduan strategi dan aksi dalam perumusan dokumen ini perlu untuk mendapat perhatian. Inisiatif 100RC itu sendiri telah mengamanatkan perlunya strategi yang integratif, dengan menetapkan tahapan analisis cross-focus area atau analisa lintas tema. Dokumen ketahanan itu sendiri juga mengkonfirmasi tentang perlunya integrasi.
Keenam strategi pilar ketahanan kota ini memang saling berkaitan. Hal ini penting untuk memastikan strategi dan inisiatif yang disusun bisa menjadi solusi yang terintegrasi. Strategi pilar “Transparansi Informasi Publik dan Tata Pemerintahan”, dan “SDM Berdaya Saing” berkaitan erat dengan strategi pilar lainnya, … Di samping itu, strategi pilar lainnya juga saling terkait. Contohnya, inisiatif dalam meningkatkan kualitas lingkungan dan peluang bisnis ramah lingkungan pada strategi pilar “Peluang Ekonomi Baru” berhubungan erat dengan inisiatif inovasi penyediaan air di bawah strategi pilar “Air dan Energi Berkelanjutan”, dan inisiatif dalam mempersiapkan tenaga kerja untuk pasar kerja di bawah strategi pilar “SDM Berdaya Saing”. Hubungan semacam ini juga terdapat pada strategi pilar lainnya (Pemerintah Kota Semarang, 2016: p. 66).
Oleh karena itu, sub-bab berikut ini akan menguraikan proses perumusan startegi yang integrative atau berwawasan keterpaduan. Disamping itu juga mengkaji berbagai isu-isu praktis dalam pelaksanaannya.
table of content4. PERUMUSAN STRATEGI LINTAS TEMA UNTUK KETAHANAN KOTA SEMARANG
Mengapa Analisis Lintas Tema? Dalam kerangka inisiatif 100RC, terdapat tahapan yang dikenal dengan cross-focus area analysis atau analisa lintas tema. Secara umum, tahapan ini dirancang untuk menghindari overlap strategi ketahanan kota. Disamping itu juga untuk memperkuat keterkaitan substansi strategi. Tahapan ini juga dapat dikatakan sebagai bagian dari proses atau upaya seleksi tanpa hilangkan esensi.
Adapun secara khusus, tahapan ini ditujukan untuk menghasilkan sejumlah strategi yang bisa didekati dari berbagai dimensi dan area ketahanan secara maksimal, di mana penyusunan strategi ketahanan Kota Semarang mempertimbangkan lima area ketahanan- yaitu pemenuhan kebutuhan dasar, bencana dan wabah penyakit, air dan energy, mobilitas, dan kapasitas pemerintahan.
Analisa lintas tema atau cross-focus dapat dilakukan dengan sejumlah prasayarat. Pertama, strategi pada setiap fokus area (atau sector) sudah dihasilkan. Kedua, fakta-fakta dan gap sudah berhasil diidentifikasi. Ketiga, 7 (tujuh) resilience qualities yang sudah diterapkan pada saat perumusan strategi. Dalam konteks yang ketiga ini, setiap strategi perlu dilakukan penilian terlebih dahulu
Pengembangan Kerangka Kerja Lintas Tema. Kerangka kerja analisa lintas tema telah dikembangkan oleh peneliti utama riset ini, dalam kapasitasnya pada waktu itu sebagai koordinator lintas tema dalam inisiatif 100RC. Secara umum kerangka kerja lintas tema sebagai model integrasi terdiri atas tiga tahapan utama.
Langkah Pertama: Eksplorasi Keterkaitan. Tahap pertama adalah eksplorasi keterkaitan antara strategi fokus area menggunakan matrix-based integrative approach. Pada tahap ini sebuah matriks utama (Tabel 1) dengan dimensi yang sangat luas akan dihasilkan. Sebagai upaya untuk mempermudah proses teknis, matriks utama tersebut dipecah kedalam beberapa matriks. Pada studi kasus ini, terdapat sepuluh matriks yang menjabarkan hubungan antar strategi. Matriks-matriks tersebut walaupun terlihat sederhana namun sebenarnya sangat kompleks, karena setiap matrik bisa terdiri atas puluhan kolom dan baris atau bahkan lebih. Tabel 2 memberikan ilustrasi konseptual yang lebih nyata ketika Matrix 1 dijabarkan lebih lanjut.
Tabel 1.
Ilustrasi Matrix-based Integrative Approach
Tabel 2.
Contoh Pendetailan Konseptual atas Matriks 1
Keterangan: Matrix ini seharusnya adalah matrix 27x25, dengan 27 kolom strategi yang merepresentasikan strategi pada focus area kebutuhan dasar (basic need) dan 25 baris strategi yang merepresentasikan focus area kesehatan dan kebencanan. Adapun, N/A berarti menuatakan tidak ada hubungan antara kedua strategi.
Selanjutnya, strategi-strategi pada setiap fokus area yang dihasilkan pada akhir dari dari fase 1, digunakan utk mengisi setiap kepala matriks, pada matriks yang relevan. Dengan contoh pada Tabel 2, maka strategi-strategi dari fokus area basic need dan disaster and diseases dimasukkan dalam sel-sel yang diarsir.
Tugas selanjutnya (untuk working group) adalah mengisi setiap sel yang tersisa pada setiap matriks, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2. Walau demikian, tidak semua sel akan bisa terisi (N/A), karena beberapa hal. Pertama, sejumlah strategi berdiri sendiri karena memang rasional menjawab isu di masing-masing focus area. Kedua, terdapat peluang tidak adanya keterkaitan di antara strategi, baik dari sisi teoritis maupun empiris.Misalnya meningkatkan transportasi publik yang nyaman dan terjangkau tidak memiliki keterkaitan atau hubungan apapun dalam meningkatkan ketrampilan sektor informal dalam pengemasan dan pemasaran. Dalam pengisian setiap sel ini, panduan lima potensi integrasi – seperti integrasi pelaku/kewenangan, spasial, substansial, data dan proses, serta mainstreaming- digunakan untuk menjadi referensi.
Pada tahap pertama ini, sejumlah isu-isu praktis dalam penerapannya telah kami identifikasi. Isu pertama terkait dengan standarisasi input. Strategi-strategi sebagai output yang dihasilkan dari setiap fokus area tidak diartikulasikan secara konsisten. Seperti diantaranya ada percampuran antara ‘bahasa’ strategi dan program. Disamping itu, strategi yang dihasilkan memiliki derajat kedetailan yang berbeda. Masih ditemukan sejumlah strategi yang sangat mikro pada satu sisi, sejumlah strategi yang sangat makro pada sisi lainnya. Solusi atas isu praktis semacam ini ialah dengan melakukan langkah antisipatif sejak awal fase kedua (pembahasan fokus area). Pada fase ini perlu dipastikan agar kerangka kerja untuk fokus area disepakati dan diketahui secara bersama. Selanjutnya, langkah reaktif diakhir fase kedua (pembahasan lintas focus area) dapat dilakukan melalui pengelompokkan antara strategi dan program, dan selanjutnya diikuti dengan mengkompilasi program yang kemudian bisa digunakan untuk penjabaran dokumen ketahanan kota. Langkah reaktif lainnya dapat dilakukan dengan proses induktif, dimana sejumlah program senada dikumpukan dan diartikulasikan sebagai strategi yang lebih utuh.
Isu praktis yang lain adalah adanya overlapping atau tumpang tindih yang sangat nyata atau obvious. Strategi-strategi pada focus area tertentu, seperti kapasitas misalnya, memiliki keterkaitan baik secara langsung dan tidak langsung dengan hampir semua aspek. Sehingga strategi tersebut bisa berlaku untuk strategi apapun yang akan dirumuskan.
Solusi untuk strategi ini ialah dengan menjadikan strategi focus area untuk kapasitas sebagai strategi yang harusnya memperoleh perlakuan khusus, atau diberikan pengecualian. Dalam hal ini, strategi-strategi pada area kapasitas dikeluarkan dari pendekatan (integrated matrix-based) sehingga bisa langsung masuk dalam proses prioritasi. Dari limapuluh strategi yang dimasukkan kedalam matriks tigapuluh diantaranya berasal dari focus area, dan masing-masing 10 dari area kapasitas dan lintas tema itu sendiri.
Isu yang terus mengemuka yaitu terkait dengan output strategi yang dihasilkan. Output strategi yang dihasilkan mendapatkan kritik yang signifikan. Kritik jauh lebih besar daripada apresiasi, karena beberapa alasan. Pertama, matrix lintas tema (pada Langkah 1) menghasilkan strategi yang sangat spesifik daripada strategi generik. Strategi-strategi yang dirumuskan juga menghasilkan diksi atau vocabularies yang tidak umum dalam konteks penyusunan program di organisasi pemerintah. Kedua, terkait dengan masalah asosiasi. Dalam konteks ini terdapat adanya kesulitan untuk mengasosiasikan strategi lintas tema kedalam salah satu kategori grand strategi, ketika grand strategi diperlukan untuk mengorganize strategi yg besar jumlahnya.
Langkah Kedua: Analisis Deskripsi dan Penilaian Strategi. Langkah kedua adalah analisis deskripsi strategi integratif (dari Langkah 1) berdasarkan kualitas ketahanan (resilience quality). Sejumlah kriteria ketahanan ini meliputi kehandalan (robust), dapat dicapai dengan berbagai alternative (redundant), dihasilkan dari proses pembelajaran sebelumnya (reflective), tingkat keterpaduan (integrated), keterlibatan berbagai pihak (inclusive), dan ketersediaan sumberdaya (resourceful). Disamping mempertimbangkan kualitas ketahanan, sebagai tambahan kriteria yang meliputi kehendak politis (political will), durasi implementasi, dan ketersediaan dukungan dari mitra (platform partners), dan pertimbangan biaya dan manfaat ekologis (ecological costs and benefits) perlu juga untuk dideskripsikan. Pada dasaranya kriteria ini dibingkai dalam dua dimensi analisis. Kriteria robust, reflective, inclusive, integrated, dan redundant merepresentasikan dimensi hasil atau dampak dari strategi. Sementara itu kriteria ketersediaan sumberdaya, dukungan dari mitra, kehendak politis, durasi implementasi, dan pertimbangan biaya dan manfaat ekologis merepresentasikan dimensi kelayakan.
Langkah kedua ini merupakan pekerjaan yang paling menantang, dimana setiap strategi perlu mendapatkan deskripsi atas kualitas ketahanannya. Deskripsi tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk melakukan pembobotan. Strategi dengan deskripsi positif mendapat label hijau dan mendapatkan dengan score 1 (satu). Adapun strategi dengan deskripsi positif yang disertai dengan catatan negatif memperoleh label kuning dengan score 0.5 (setengah). Sedangkan deskripsi negatif mendapat label merah dan mendapatkan score 0 (nol). Tabel 3 menggambarkan kerangka pembobotan strategi ketahanan di Kota Semarang.
Berhadapan dengan sekitar 500 sel yang harus diisi dengan mengacu pada sepuluh jenis kriteria secara berulang merupakan tugas yang membosankan karena bersifat monoton. Solusi untuk masalah ini misalnya bisa dilakukan dengan mendistribusikan tugas pada sejumlah tim sehingga bisa diselesaikan dengan lebih cepat. Namun demikian akan menghasilkan resiko terkait dengan konsistensi antar deskripsi yang dilakukan oleh setiap individual. Oleh karena itu, kualitas kontrol yang mampu untuk memberikan umpan balik kritis atas semua hasil deskripsi maupun penilaian diperlukan.
Tabel 3.
Kriteria dan Variabel Penilaian Strategi
Langkah Ketiga: Prioritisasi Strategi Integratif. Prioritisasi strategi integratif menggunakan hasil analisis dari langkah kedua diatas, merupakan bagian yang paling menyenangkan karena semua pekerjaan berat sebelumnya telah diselesaikan. Prioritisasi dilakukan dengan mengembangkan matriks untuk mengetahui positioning dari semua strategi. Strategi yang memiliki tingkat hasil atau dampak ketahanan yang tinggi dan pada saat yang sama juga menjanjikan tingkat kelayakan yang tinggi, dapat ditetapkan sebagai strategi prioritas. Gambar 1 berikut memberikan kerangka konseptual prioritisasi strategi ketahanan.
Gambar 1. Kerangka Konseptual Prioritisasi Strategi Ketahanan
Gambar 2. Hasil Prioritisasi Strategi Ketahanan
Gambar 2 di atas menunjukkan hasil prioritisasi strategi ketahanan Kota Semarang. Pada langkah ini juga terdapat sejumlah isu praktis misalnya terkait dengan inklusifitas strategi (strategy inclusiveness). Bagaimana jika terdapat strategi yang memiliki dampak resilience tinggi, tapi feasibilitas rendah? Selanjutnya apa yang harus dilakukan dengan strategi-strategi tersebut. Sebagai solusi atas masalah ini perlu kiranya untuk ditinjau ditinjau dari kriteria apa yang membuat strategi tersebut tidak layak (umumnya dari political will). Perlu dikaji lagi apakah hasil assessment atas political will sudah valid. Strategi yang tidak tercantum secara literal dalam buku putih agenda walikota, yang digunakan sebagai dasar penilaian political will, bukan berarti bahwa strategi dan aksi yang diturunkan darinya tidak bisa implementatif. Dengan kondisi yang demikian, strategi tersebut dapat dimasukkan sebagai prioritas setelah mendapatkan kesepakatan bersama. Namun jika strategi tidak layak akibat alasan non-politis, maka tidak perlu untuk memodifikasi kembali hasil prioritisasi yang dihasilkan. Pada akhirnya, 18 strategi dan 53 kegiatan yang dibingkai dalam enam pilar dihasilkan dari proses ini.
table of content5. KESIMPULAN
Paper ini secara spesifik ditujukan untuk memperkenalkan sebuah kerangka analisis untuk mendorong keterpaduan strategi. Penelitian ini mampu memberikan kontribusi secara praktis. Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk membantu praktisi perkotaan maupun perencana dalam melakukan langkah step-by-step, termasuk tantangan dan solusi yang bisa diambil- dalam merumuskan strategi perkotaan yang terpadu secara umum dan khususnya dalam konteks strategi ketahanan kota.
Penelitian ini telah memperkenalkan sebuah kerangka analisis untuk mendorong keterpaduan strategi dengan studi kasus penyusunan strategi ketahanan kota di Semarang. Stusi kasus di Kota Semarang menunjukkan bahwa tahapan cross focus area dalam 100 RC menantang aktor-aktor kota berfikir lebih keras dalam menghasilkan strategi yang lebih tajam dan terintegrasi. Pendekatan matrix-based integrative approch telah dikenalkan dalam makalah ini bisa digunakan untuk menjawab tantangan tersebut. Namun demikian, penerapannya juga disertai dengan sejumlah isu, baik secara teknis dan praktis. Secara teknis, terkait dengan alokasi waktu dan sumberdaya yang relatif besar. Sehingga perlu dikritisi kembali kemungkinannya untuk direplikasi. Secara praktis, penerapan pendekatan tersebut menghasilkan output program yang lebih ‘berantakan’, bukan dalam arti negatif. Hal ini tentunya sangat bersebrangan dengan tradisi di organisasi pemerintahan yang telah mengatur dan mengklasifikasikan setiap program dalam koridor yang spesifik. Penulis merekomendasikan agar matrix-based integrative approach perlu untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai sebuah tool untuk perumusan strategi ketahanan. Pengembangan diarahkan agar pendekatan tersebut menjadi lebih ramah bagi para pengguna (user friendly). Disamping itu, yang lebih penting lagi untuk dilakukan adalah pengembangan dasar-dasar ilmiah bagi pengembangan tool tersebut.
table of content6. UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini dapat terlaksana atas dukungan pembiayaan dari hibah bersaing skema penelitian dasar yang bersumber dari dana DIPA Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang tinggi kepada Dekan Fakultas Teknik atas perhatiannya dalam mendorong kegiatan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada Ketua Departemen Perencanaan Wilyah dan Kota dan para asisten Laboratorium Pengelolaan Wilayah dan Manajemen Lingkungan yang telah membantu aspek teknis dan administratif penelitian ini.
table of content7. DAFTAR PUSTAKA
Carmin, J., Anguelovski, I., & Roberts, D. (2012). Urban climate adaptation in the global south: planning in an emerging policy domain. Journal of Planning Education and Research, 32 (1), 18-32.
Davoudi, S. (2012). Resilience: a bridging concept or a dead end? Planning Theory & Practice, 13(2), 299–333.
Friend, R., Jarvie, J., Reed, S. O., Sutarto, R., Thinphanga, P., & Toan, V. C. (2014). Mainstreaming urban climate resilience into policy and planning: reflections from Asia. Urban Climate, 7, 6-9.
Gober, P., Larson, K. L., Quay, R., Polsky, C., Chang, H., & Shandas, V. (2013). Why land planners and water managers don’t talk to one another and why they should! Society and Natural Resources, 26, 356–364.
Hardoy, J., & Lankao, P. R. (2011). Latin America cities and climate change: challenges and options to mitigation and adaptation response. Current Opinion in Environmental Sustainability, 3, 158-163.
Holling, C. S. (1996). Engineering resilience versus ecological resilience. In P. C. Schulze (Ed.), Engineering Within Ecological Constraints (pp. 31–44.). Washington DC: National Academy Press, Washington DC, pp. 31–44.
IPCC. (2012). Managing the Risks of Extreme Events and Disasters to Advance Climate Change Adaptation: A special report of Working Groups I and II of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Retrieved from Cambridge, UK and New York, USA.:
IPPC. (2014). Assessment Report 5: IPPC Working Group II. Retrieved from
ISET. (2011). Catalyzing Urban Climate Resilience: Applying resilience concepts to planning practice in the ACCCRN Program (2009-2011). Retrieved from Boulder:
Mazmanian, D. A., Jurewitz, J., & Nelson, H. (2008). California’s climate change policy: the case of a subnational state actor tackling a global challenge. The Journal of Environment and Development, 17(4), 401-423.
Newel, B., & Proust, K. (2012). Introducing Collaborative Conceptual Modeling. Retrieved from
Pemkot-Semarang. (2016). Semarang Tangguh: Bergerak Bersama Menuju Semarang Tangguh. Semarang: Pemerintah Kota Semarang Retrieved from http://100rcsemarang.org/wp-content/uploads/2016/06/strategi-ketahanan-kota-semarang.pdf .
Rabe, B. G. (2008). States on steroids: the intergovernmental odyssey of American climate policy. Review of Policy Research, 25(2), 105-128.
Richardson, G. R. A. (2010). Adapting to Climate Change: An Introduction for Canadian Municipalities. Ottawa, Ont: Natural Resources Canada.
Robinson, P. S., Brown, A. L., Todes, A. E., & Kitchin, F. (2003). Methods of achieving integration in development planning: early experiences from South African municipalities, IDPR, 25:3, 263-281. International Development and Planning Review, 25(3), 263-281.
Satterthwaite, D., & Dodman, D. (2013). Editorial: towards resilience and transformation for cities within a finite planet. Environment and Urbanization, 25(2), 291-298.
Satterthwaite, D., Huq, S., Pelling, M., Reid, H., & Lankao, P. R. (2009). Adapting to climate change in urban areas: the possibilities and constraints’ in low- and middle-income nations. Retrieved from London:
Scarse, J. I., & Sheate, W. R. (2002). Integration and integrated approaches to assessment: what do they mean for the environment? Journal of Environmental Policy & Planning, 4, 275-294.
Silas, J. (1992). Government-community partnerships in kampung improvement programmes in Surabaya. Environment and Urbanization, 4(2), 33-41.
Turock, I., & McGranahan, G. (2013). Urbanization and economic growth: the arguments and evidence for Africa and Asia. Environment and Urbanization, 25(2), 465-482. doi:DOI: 10.1177/0956247813490908
Tyler, S., Reed, S. O., MacClune, K., & Chopde, S. (2010). Planning for Urban Climate Resilience: Framework and Examples from the Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN). Retrieved from Boulder, Colorado:
UN-Habitat. (2011). Global Report on Human Settlements 2011: Cities and Climate Change-Policy Directions. London: Earthscan.
UN-Habitat. (2012). State of the World Cities 2012/2013: Prosperity of Cities. Retrieved from Nairobi:
Wilde, B. (2011). Strategic Planning on The Coast: The Benefits of Applying Systems and Resilience Approaches. Paper presented at the 2011 NSW Coastal Conference, New South Wales. http://www.coastalconference.com/2013/papers2013/Bryce%20Wilde.pdf
[1] Kriteria lainnya seperti: (i) Reflective/Learning (terdapat unsur pembelajaran dan menggunakan akumulasi pengetahuan sebelumnya); (ii) Robust/Reliable (cukup baik untuk diprediksi gagal dan dapat dihandalkan); (iii) Redundant (terdapat berbagai alternative cara untuk mencapai tujuan); (iv) Inclusive (mengedepankan partisipasi local); (v) Decentralized (tersebar untuk menghindari kegagalan sistem secara keseluruhan); dan (vi) Resourceful (Sumberdaya dan skill tersedia dan dapat dilakukan dengan proses yang cost-effective).
[2] Informasi mengenai proses penyusunan city resilience strategy (CRS) Kota Semarang secara lengkap tertuang dalam dokumen “Semarang Tangguh: Bergerak Bersama Menuju Semarang Tangguh” yang dipublikasikan oleh Pemerintah Kota Semarang pada 2016. Dokumen tersebut juga tersedia di http://100rcsemarang.org/wp-content/uploads/2016/06/strategi-ketahanan-kota-semarang.pdf
Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2017 Jurnal Pengembangan Kota
License URL: http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0