KAPASITAS KELEMBAGAAN DALAM PENGEMBANGAN DESA WISATA (STUDI KASUS: DESA WISATA KETENGER, BANYUMAS)

Gita Ratri Prafitri , Maya Damayanti

Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang

Issue Vol 4, No 1 (2016)

DOI http://dx.doi.org/10.14710/jpk.4.1.76-86

Copyright (c) 2017 Jurnal Pengembangan Kota

Creative Commons License This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License

Abstrak

Pemerintah Indonesia telah berupaya mengembangan pariwisata berbasis pada potensi dan kemampuan masyarakat dalam mengelola kegiatan pariwisata. Hal ini agar dapat memberikan manfaat kegiatan pariwisata yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Strategi ini diwujudkan melalui pengembangan desa wisata, salah satunya adalah Desa Wisata Ketenger yang berada di Kabupaten Banyumas. Desa Ketenger merupakan salah satu dari desa wisata andalan di Kabupaten Banyumas. Hal ini dipengaruhi oleh kekayaan potensi alam dan budaya, dan juga didukung oleh kemampuan atau kapasitas kelembagaan desa wisata dalam mengelola potensi-potensi tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kapasitas kelembagaan dalam pengembangan Desa Wisata Ketenger. Kapasitas yang akan diteliti meliputi kapasitas organisasi dan kapasitas individu dalam pengembangan Desa Wisata Ketenger. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Data diperoleh melalui wawancara dan observasi lapangan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada tingkat organisasi, organisasi telah menunjukkan kapasitas yang baik dalam aspek kemitraan eksternal, aspek pengembangan potensi wisata, serta aspek promosi desa wisata. Sedangkan pada aspek kepemimpinan dan koordinasi, POKDARWIS "Ketenger Adventure" menunjukkan kapasitas yang kurang baik. Sedangkan pada tingkat individu, individu memiliki kapasitas yang baik dalam merintis pengembangan potensi wisata. Individu memiliki kapasitas yang cukup baik dalam pengelolaan atraksi wisata, pengelolaan cinderamata, serta pelayanan terhadap wisatawan. Namun individu memiliki kapasitas yang kurang baik dalam pemahaman dan pengaplikasian konsep desa wisata. Penelitian ini juga menemukan bahwa masyarakat Desa Ketenger telah mendapatkan program-program peningkatan kapasitas yang didakan baik dari Dinas Pariwisata maupun organisasi lainnya. Namun berdasarkan temuan studi tentang kapasitas insitutional masyarakat ini, penelitian ini merekomendasikan perlunya program-program lanjutan untuk peningkatan kapasitas masyarakat.

Kata Kunci: Kapasitas Kelembagaan; Kapasitas Organisasi ; Kapasitas Individu.


[Title: Institutional Capacity In Developing Tourism Village (Case Study: Desa Wisata Ketenger, Banyumas)]. In order to share benefit of tourism development, the Indonesian government has implemented the strategi of tourism village that is developed based on the local strength and community's capacity. One of this tourism village is Ketenger, located in Banyumas Regency. Ketenger is one of leading tourism village in Banyumas. It is based on the natural and cultural resources supported by the institutional capacity of the community. Hence, this study aims to determine the institutional capacity in developing Ketenger Tourism Village. The institutional capacity in this research is included the capacity of individuals and organizations in developing Ketenger Tourism Village. The research applied descriptive qualitative method. Data were collected through interviews and observations. The results of this study indicate that at organization level, it illustrated the capacity both in terms of external partnerships, aspects of development of tourism potential, as well as aspects of the promotion of rural tourism. However, Pokdarwis "Ketenger Adventure" has less capacity on aspects of leadership and coordination. While at the individual level, they have a good capacity in pioneering the development of tourism potentials. Individuals have enough capacity in the management of tourist attractions, souvenir management, as well as service to the tourists. However, individuals have less capacity both in the understanding and application of the concept of tourism village. Although the community has received some capacity building programs, this research emphasises the need of advanced capacity building programs for the community.

Keyword: Institutional Capacity; Organizational Capacity; Individual Capacity.

table of content

1. PENDAHULUAN

Pariwisata merupakan salah satu sektor industri yang penting dan mempunyai potensi serta peluang yang besar untuk dikembangkan. Perkembangan pariwisata di negara-negara berkembang termasuk Indonesia diharapkan dapat membantu menyamakan peluang ekonomi serta menghambat penduduk desa untuk bermigrasi ke kota. Perkembangan pariwisata juga diharapkan mampu meningkatkan perekonomian sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dimana pariwisata tersebut dikembangkan (Evita, Sirtha, & Sunarta, 2012).

Perkembangan pariwisata di Indonesia beberapa tahun belakangan ini telah masuk ke dalam tatanan baru. Kecenderungan perkembangan pariwisata di Indonesia adalah perkembangan model pariwisata berbasis desa wisata (Triambodo & Damanik, 2015). Pengembangan desa wisata di Indonesia mulai bermunculan pada tahun 2007 ketika pemerintah Indonesia mencanangkan program Visit Indonesia sebagai upaya mempromosikan pariwisata di Indonesia kepada wisatawan lokal maupun mancanegara. Berdasarkan data Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, sampai dengan tahun 2012 tercatat ada 978 desa wisata yang dikembangkan di Indonesia. Jumlah ini meningkat tajam dibanding tahun 2009 yang hanya tercatat 144 desa untuk tujuan pariwisata. Pengembangan desa wisata sangat dipengaruhi oleh aspek kelembagaan, objek dan daya tarik wisata, serta sarana prasarana wisata (Sastrayuda, 2010). Hal ini disebabkan ketiga aspek pengembangan desa wisata tersebut memiliki peranan penting dalam meningkatkan pelayanan dan kualitas produk wisata.

Menurut Inskeep (1991) , dalam konteks pariwisata, kelembagaan adalah komponen penting dalam menunjang keberhasilan pariwisata. Kelembagaan berperan dalam mengatur sumberdaya dan distribusi manfaat dalam upaya peningkatan potensi pariwisata (Triambodo & Damanik, 2015). Urgensi keberadaan kelembagaan dalam bidang pariwisata adalah kelembagaan dapat berperan sebagai wadah sekaligus penggerak dalam memfasilitasi, dan mengembangkan partisipasi masyarakat dalam bidang pariwisata (Triambodo & Damanik, 2015). Di dalam pengembangan kelembagaan desa wisata, perlu adanya perencanaan awal yang tepat dalam menentukan usulan program atau kegiatan khususnya pada Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) agar mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat melalui program yang dijalankan (Sastrayuda, 2010).

Kabupaten Banyumas memiliki enam buah desa wisata yaitu Desa Wisata Ketenger, Desa Wisata Kemutug Lor, Desa Wisata Karangsalam, Desa Wisata Dawuhan, Desa Wisata Plana dan Desa Wisata Tambaknegara. Menurut Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyumas, dari enam desa wisata yang ada di Kabupaten Banyumas, hanya dua buah desa yang layak dikunjungi wisatawan yaitu Desa Wisata Ketenger dan Desa Wisata Dawuhan. Indikator yang digunakan yaitu kapasitas sumberdaya manusia POKDARWIS dalam menerima kunjungan wisatawan karena merekalah yang akan berinteraksi langsung dengan wisatawan. Permasalahan yang terjadi di desa wisata lain adalah kurangnya kapasitas sumberdaya manusia POKDARWIS dalam pengelolaan desa wisata.

Dari latar belakang di atas, dapat diketahui bahwa pengembangan desa wisata dipengaruhi oleh aspek kelembagaan, objek dan daya tarik wisata, serta sarana prasarana wisata. Aspek kelembagaan adalah salah satu komponen penting dalam menunjang keberhasilan pariwisata (Inskeep, 1991). Pada aspek kelembagan, diperlukan kapasitas masyarakat baik dalam bentuk organisasi maupun individu sebagai pelaku utama dalam pengembangan desa wisata untuk pelaksanaan strategi dan program pengembangan desa wisata. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kapasitas kelembagaan dalam pengembangan desa wisata.

table of content

2. KAPASITAS KELEMBAGAAN: TINJAUAN PUSTAKA

Djogo, Sunaryo, dan Sirait (2003) menyebutkan bahwa pada umumnya definisi lembaga mencakup konsep pola perilaku sosial yang sudah mengakar dan berlangsung terus menerus atau berulang. Kelembagaan berisikan dua aspek penting yaitu; "aspek kelembagaan" dan "aspek keorganisasian". Aspek kelembagaan meliputi perilaku atau perilaku sosial dimana inti kajiannya adalah tentang nilai (value), norma (norm), custom, folkways, usage, kepercayaan, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi dan lain-lain. Sedangkan aspek keorganisasian meliputi struktur atau struktur sosial dengan inti kajiannya terletak pada aspek peran (role). Lebih jauh aspek struktural mencakup: peran, aktivitas, hubungan antar peran, integrasi sosial, struktur umum, perbandingan struktur tekstual dengan struktur faktual, struktur kewenangan atau kekuasaan, hubungan antar kegiatan dengan tujuan yang hendak dicapai, aspek solidaritas, klik, profil dan pola kekuasaan.

Menurut Kapucu, Healy, dan Arslan (2011) kapasitas merupakan suatu sumberdaya, tingkat kepemimpinan, kemampuan atau keahlian masyarakat yang memadai, tingkatan tertentu pada pelembagaan (perubahan hal-hal baru yang bernilai baik). Kapasitas instutusi atau kelembagaan dapat dilihat dari level-level kapasitas masyarakatnya yaitu tingkat sistem, tingkat organisasi, dan tingkat individu (UNDP, 1997) lebih jelas digambarkan pada gambar 1 berikut.

Gambar 1. Tingkat Kapasitas Kelembagaan ( UNDP, 1997)

Kapasitas kelembagaan tingkat sistem terdiri dari hubungan antar individu, kelompok informal, dan organisasi formal yang menghasilkan jaringan hubungan sosial yang disebut dengan modal sosial (Chaskin, 2001). Mengingat penelitian ini mengenai desa wisata, untuk mengukur kapasitas kelembagaan tingkat sistem akan mengacu pada penelitian Damayanti (2014) yaitu kebijakan Dinas Pariwisata Provinsi dan Kabupaten serta kebijakan Pemerintah Desa yang berhubungan dengan pembangunan dan pengelolaan desa wisata, dan kemitraan yang dilakukan Pemerintah Desa dengan lembaga lain di luar desa.

Milen (2006) menyebutkan bahwa tingkatan organisasi berhubungan dengan perangkat struktur, kultur dan pengelolaan organisasi yang mendukung para individu untuk menunjukkan kinerja terbaiknya. Mengingat penelitian ini dilakukan pada ranah pariwisata, maka indikator-indikator yang dirasa cocok untuk mengukur kemampuan dan kapasitas organisasional para pengelola desa wisata akan mengacu pada pendapat Damanik dan Weber (2006) yaitu kemampuan organisasi untuk memimpin dan berkoordinasi, kemampuan organisasi untuk melakukan kemitraan eksternal kemampuan organisasi untuk mengembangkan produk-produk pariwisata, serta kemampuan organisasi untuk melakukan promosi destinasi wisata.

Tingkatan kompetensi atau kapasitas individu dapat diukur melalui beberapa indikator. Dari konsep JICA (2004) dalam Hamzah dan Khalifah (2012) indikator-indikator tersebut meliputi pengetahuan, keahlian/ keterampilan, kesadaran dan sikap. Berdasarkan indikator kapasitas individu yang diteorikan para ahli, maka peneliti mengambil beberapa indikator kontekstual dengan pengelolaan desa wisata. Indikator-indikator ini merujuk pada penelitian Noho (2014) karena penelitiannya terkait kapasitas masyarakat dalam mengelola pariwisata yaitu kesadaran dalam merintis pengembangan potensi wisata, pengetahuan tentang konsep desa wisata kemampuan melayani wisatawan, kemapuan mengolah souvenir atau cinderamata, serta kemampuan mengelola atraksi wisata.

table of content

3. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif sebagai pendekatan penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kapasitas organisasi dan kapasitas individu pengelola Desa Wisata Ketenger. Data yang diperoleh berupa deskripsi mengenai kapasitas organisasi dan kapasitas individu pengelola Desa Wisata Ketenger. Metode penentuan sampel dengan cara purposive sampling dan snowball sampling. Data primer yang dibutuhkan dikumpulkan melalui kegiatan observasi lapangan di Desa Wisata Ketenger serta wawancara kepada 18 informan antara lain ketua dan anggota POKDARWIS "Ketenger Adventure", tokoh masyarakat, pengelola kesenian, pengelola homestay, pengelola cinderamata, pengurus PKK dan petani anggrek. Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari instansi POKDARWIS "Ketenger Adventure". Pengumpulan data primer dan sekunder dilakukan selama ± 2 minggu pada bulan September 2015.

table of content

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Desa Wisata Ketenger. Secara administrasi Desa Wisata Ketenger terletak di Kecamatan Baturaden, Kabupaten Bayumas, Provinsi Jawa Tengah. Desa Wisata Ketenger memiliki luas wilayah sebesar 1.120,7 Ha yang terbagi ke dalam 3 dusun yaitu Karangpule, Ketenger, dan Kalipagu 5 RW dan 26 RT.

Potensi Desa Wisata Ketenger. Desa Wisata Ketenger memiliki berbagai potensi alam dan budaya yang dijadikan sebagai atraksi wisata. Potensi alam yang ada di Desa Wisata Ketenger antara lain Curug Gedhe, Curug Bayan, Curug Celiling, Curug Tempuhan, Curug Pengantin Curug Kembar, Curug Brajawingin, Curug Gumeng, Curug Petir, DAM Jepang, wisata anggrek, dan PLTA. Selain potensi wisata alam, Desa Wisata Ketenger juga memiliki beberapa wisata adventure antara lain flying fox, tree tracking, jungle tracking, gembus boat, serta interactive games (lihat gambar 2 ).

Gambar 2. Beberapa Potensi alam Desa Wisata Ketenger

Desa Wisata Ketenger juga memiliki beberapa potensi budaya yaitu calung, ebeg, lengger, karawitan, dan hadroh. Desa Wisata Ketenger memiliki kelompok kesenian bernama "Mekar Kesuma". Kelompok kesenian ini terdiri atas beberapa kelompok seni antara lain 2 kelompok ebeg, 2 kelompok lengger, 2 kelompok calung, serta 2 kelompok hadroh (lihat gambar 3).

Gambar 3. Tradisi "Grebek Sura" Desa Wisata Ketenger

Kapasitas Organisasi Dalam Pengembangan Desa Wisata Ketenger. Organisasi Desa Wisata Ketenger. Desa Wisata Ketenger memiliki dua organisasi yang terlibat dalam pengelolaan Desa Wisata yaitu POKDARWIS "Ketenger Adventure" dan Pengurus Desa Wisata "Gita Gumilang". Pada saat ini organisasi Pengurus Desa Wisata "Gita Gumilang" tidak aktif dan tidak memiliki program-program yang dijalankan. Sehingga dalam penelitian ini organisasi yang diteliti adalah POKDARWIS"Ketenger Adventure ".

POKDARWIS "Ketenger Adventure". POKDARWIS "Ketenger Adventure" merupakan organisasi yang berfungsi mengelola Desa Wisata Ketenger. Organisasi ini berdiri pada tahun 2004. Pada tahun 2011, berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata Kabupaten Banyumas Nomor 556/013.A/I/2011 ditetapkan pembentukan Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) sebagai organisasi pengelola desa wisata.

Kapasitas organisasi. Kapasitas organisasi adalah kemampuan organisasi dalam mengelola Desa Wisata Ketenger. Kapasitas organisasi dapat dilihat dari kepemimpinan dan koordinasi, kemitraan eksternal, kapasitas untuk mengembangkan atraksi wisata serta kapasitas untuk mempromosikan desa wisata.

Kepemimpinan dan Koordinasi. Pada organisasi POKDARWIS "Ketenger Adventure", Ari Cahyono berperan sebagai koordinator lapangan serta pemimpin bagi pengelolaan Desa Wisata Ketenger.

Ari Cahyono mulai mengelola Desa Wisata Ketenger pada tahun 2004. Tipe kepemimpinan dalam POKDARWIS "Ketenger Adventure" merupakan tipe kepemimpinan tunggal dengan gaya kepemimpinan demokratis. Kepemimpinan demokratis yang diterapkan di dalam organisasi POKDARWIS "Ketenger Adventure" yaitu pemimpin selalu berusaha mengutamakan kerjasama dalam usaha mencapai tujuan serta menyelesaikan berbagai konflik dengan musyawarah. Namun kelemahan dari kepemimpinan jenis ini adalah apabila seorang pemimpin tidak dapat mengambil keputusan dengan tepat dan terjadi kontra antar anggota, pada saat pengambilan keputusan tidak terjadi titik temu hanya saling berdebat satu sama lain. Pengambilan keputusan juga tidak selalu sesuai karena suara terbanyak belum tentu keputusan yang terbaik. Selain itu, kepemimpinan tunggal dalam suatu organisasi juga memiliki kelemahan yakni ketergantungan terhadap pemimpin. Sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan harus menunggu komando dari pemimpin.

POKDARWIS "Ketenger Adventure" mengadakan rapat rutin setiap 1 bulan sekali dan evaluasi setiap ada kegiatan paket wisata. Pembagian tugas di dalam POKDARWIS "Ketenger Adventure" berdasarkan skill atau pengetahuan anggota POKDARWIS.

Namun, dalam hal koordinasi terdapat perbedaan struktur organisasi POKDARWIS "Ketenger Adventure" dengan POKDARWIS Desa Wisata Ketenger. Permasalahan ini memang belum menimbulkan konflik pada saat ini. Namun di kemudian hari akan menyebabkan organisasi POKDARWIS tidak dapat berjalan secara optimal.

Kemitraan Eksternal. Pengelolaan Desa Wisata tidak dapat berjalan hanya dengan mengandalkan pendapatan yang dihasilkan dari desa wisata itu sendiri. Perlu adanya bantuan dari berbagai pihak di luar desa wisata untuk meningkatkan pendapatan desa wisata.

POKDARWIS "Ketenger Adventure" memiliki kapasitas yang baik dalam aspek kemitraan eksternal. Organisasi ini telah menjalin kerjasama dengan pihak-pihak di luar Desa Wisata Ketenger seperti Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyumas.

Kerjasama yang dilakukan oleh POKDARWIS dengan Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata menghasilkan dana bantuan PNPM Mandiri Pariwisata selama 2 periode yaitu tahun 2009 dan tahun 2010. Periode pertama yaitu pada tahun 2009, Desa Wisata Ketenger mendapatkan bantuan sebesar Rp 52.000.000. Dana tersebut digunakan untuk peralatan sound system, gamelan untuk kesenian, serta seragam untuk kelompok kesenian. Sedangkan pada tahun 2010, Desa Wisata Ketenger memperoleh dana sebesar Rp 60.000.000 yang digunakan untuk pelatihanguiding bagi pengelola desa wisata, pembangunan wahana outbond, pembangunan sekretariat, serta perlengkapan outbond seperti ban karet, pelampung, dan lain-lain. Pada tahun 2013, Desa Wisata Ketenger mendapatkan bantuan dana PNPM Perkotaan untuk penambahan peralatan camping.

Kapasitas Untuk Mengembangkan Atraksi Wisata . POKDARWIS "Ketenger Adventure" telah mengembangkan potensi wisata menjadi atraksi wisata agar tidak terjadi kejenuhan wisatawan. Pengelola desa wisata harus menyadari bahwa desa wisata harus memperlihatkan keberagaman atraksi wisata sehingga atraksi wisata tidak terkesan monoton. Penggabungan atraksi wisata tersebut dapat dilakukan dengan memadukan potensi wisata alam dengan potensi wisata budaya.

Dalam perkembangannya, pengelola Desa Wisata Ketenger sudah memiliki kapasitas yang baik untuk mengembangkan atraksi wisata dibuktikan dengan semakin berkembangnya atraksi Desa Wisata Ketenger dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2015 (lihat tabel 1).

Tabel 1

Kapasitas Untuk Mempromosikan Desa Wisata. POKDARWIS "Ketenger Adventure" memiliki kapasitas yang baik dalam hal promosi Desa Wisata Ketenger. Pada awalnya promosi dilakukan dengan brosur wisata, kemudian promosi Desa Wisata Ketenger dilakukan media sosial seperti instagram, facebook, dan blog (lihat gambar 4 ). Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata Kabupaten Banyumas juga melakukan kegiatan promosi dengan cara membawa brosur desa wisata ketika melakukan studi banding di desa wisata lain, serta adanya Festival Desa Wisata Jawa Tengah Tahun 2014 yang diadakan di Kabupaten Banyumas membuat Desa Wisata Ketenger semakin dikenal oleh masyarakat luar (lihat gambar 5 ).

Gambar 4. Promosi Desa Wisata Ketenger

Gambar 5. Wisata Budaya (Kiri) dan Wisata Alam Curug Bayan (Kanan)

Analisis Kapasitas Individu Dalam Pengembangan Desa Wisata Ketenger. Individu dalam pengembangan Desa Wisata Ketenger. Individu yang dimaksud adalah pihak-pihak yang berperan dalam pengembangan dan pengelolaan Desa Wisata Ketenger antara lain anggota POKDARWIS, tokoh kesenian, pengelola homestay dan villa, petani anggrek, pengurus PKK, pengelola souvenir atau cinderamata dan pengelola konveksi. Kapasitas individu adalah kemampuan individu dalam mengelola Desa Wisata Ketenger.

Kapasitas Individu Untuk Merintis Pengembangan Potensi Wisata. Kapasitas masyarakat dalam untuk merintis pengembangan potensi wisata dapat diukur dari parameter masyarakat mengenali jenis-jenis potensi yang ada di desanya dan adanya kesadaran masyarakat untuk mengembangkan potensi tersebut menjadi atraksi wisata.

Kapasitas masyarakat dalam mengenali jenis-jenis potensi wisata di Desa Wisata Ketenger dibedakan menjadi dua tingkatan yaitu masyarakat yang memahami seluruh potensi di Desa Wisata Ketenger baik itu potensi alam maupun budaya, dan yang kedua adalah masyarakat yang memahami beberapa potensi Desa Wisata Ketenger. Masyarakat yang memahami seluruh potensi alam maupun budaya di Desa Wisata Ketenger adalah anggota POKDARWIS "Ketenger Adventure". Sedagkan masyarakat yang memahami beberapa potensi Desa Wisata Ketenger yaitu pengelola homestay, villa, pengelola cinderamata dan konveksi serta tokoh kesenian.

Kapasitas individu dalam mengembangkan potensi wisata menjadi atraksi wisata sesuai dengan kapasitas dan peran yang dimiliki individu.

Sebagian besar anggota POKDARWIS "Ketenger Adventure" belum memiliki pengetahuan mengenai pengelolaan desa wisata pada saat bergabung dengan POKDARWIS. Untuk meningkatkan kapasitas anggota POKDARWIS "Ketenger Adventure", mereka mendapatkan pelatihan yang diadakan baik oleh POKDARWIS maupun oleh Dinas Pariwisata.

Masyarakat Desa Wisata Ketenger selain anggota POKDARWIS juga mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan kapasitasnya. Pelatihan yang dijalani sesuai dengan peran yang dimiliki. Untuk pengelola homestay, Pemerintah Desa dan Dinas Pariwisata mengadakan pengarahan mengenai homestay. Untuk pengelola konveksi, Dinas Koperasi dan UKM mengadakan pelatihan mengenai sablon. Sedangkan untuk pengelola souvenir, pelatihan yang dilakukan yaitu mengikuti studi banding ke tempat pembuatan souvenir di Yogyakarta.

Kapasitas Individu Mengenai Pengetahuan dan Pemahaman Konsep Desa Wisata. Pengetahuan mengenai konsep desa wisata akan mempengaruhi sikap dan pelaku wisata dalam mengelola desa wisata. Pada akhirnya pengetahuan mengenai konsep desa wisata akan mengantarkan pelaku wisata untuk menggunakan konsep wisata yang dicetuskan atau tidak. Konsep Desa Wisata Ketenger yaitu desa wisata terpadu.

Desa Wisata terpadu di Desa Wisata Ketenger yaitu mengintegrasikan keberagaman jenis wisata yang ada yaitu wisata alam, wisata religi atau budaya, agar keberagaman jenis wisata dapat saling mendukung satu sama lain, sehingga nanti akan muncul kegiatan wisata utama dengan didukung oleh kegiatan-kegiatan wisata lainnya.

Kapasitas individu mengenai pengetahuan dan pemahaman konsep desa wisata kurang baik. Hal tersebut dikarenakan pengetahuan masyarakat mengenai konsep desa wisata terpadu terbatas hanya menyebutkan berbagai potensi wisata namun belum dapat mengaplikasikan konsep desa wisata terpadu di dalam pengembangan Desa Wisata Ketenger. Sehingga saat ini pengembangan difokuskan pada wisata alam dan wisata budaya. Pengembangan Desa Wisata Ketenger belum mengintegrasikan berbagai jenis wisata dan potensi-potensi yang ada di desa seperti homestay, anggrek, cinderamata atau souvenir, serta konveksi.

Kapasitas Individu Dalam Mengelola Atraksi Wisata. Pengelolaan atraksi wisata berkaitan dengan proses yang terencana dan teorganisasi sehingga menghasilkan serangkaian tindakan yang berkesinambungan. Kapasitas individu dalam mengelola atraksi wisata dilihat dari 3 indikator yaitu kemampuan mengelola paket wisata, kemampuan mengelola sarana penunjang desa wisata serta kemampuan merawat objek wisata.

Dalam konteks pengelolaan Desa Wisata Ketenger, kemampuan pengelola dapat dilihat dari pengelolaan paket wisata edukasi maupun paket wisata keluarga. Pengelolaan paket wisata ini dimulai dari pengelola menawarkan paket wisata kepada wisatawan sampai dengan kegiatan evaluasi.

Pengelola sudah dapat memahami mekanisme pengelolaan paket wisata mulai dari menawarkan paket kepada wisatawan sampai dengan kegiatan evaluasi. Kegiatan evaluasi merupakan kegiatan rutin pengelola setelah diadakannya paket wisata.

Selain pengelolaan paket wisata, kapasitas pengelola juga dapat diukur dari kondisi sarana penunjang desa wisata. Sarana Desa Wisata Ketenger terdiri dari loket masuk desa wisata, sekretariat, kondisi objek wisata, serta kondisi WC umum. Kapasitas pengelola dalam mengelola sarana desa wisata dinilai kurang dilihat dari minimnya sarana WC Umum serta minimnya informasi mengenai peta wisata.

Indikator kapasitas pengelola dalam mengelola atraksi wisata dilihat juga dari kemampuan pengelola untuk merawat objek wisata atau biasa disebut dengan maintenance. Desa Wisata Ketenger merupakan desa wisata yang lebih banyak mengandalkan wisata adventure sehingga memiliki objek wisata yang perawatannya tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang.

Anggota POKDARWIS yang berwenang untuk melakukan perawatan adalah anggota POKDARWIS divisi adventure. Sebelum bergabung menjadi anggota POKDARWIS "Ketenger Adventure", anggota divisi adventure memang memiliki pengetahuan dan kapasitas dalam outbond, flying fox dan kegiatan lainnya. Kapasitas anggota POKDARWIS "Ketenger Adventure" dalam melakukan perawatan pada objek wisata dapat dikatakan baik. Anggota dapat memahami bagaimana mekanisme perawatan objek wisata. Selain itu mereka juga telah mendapatkan pelatihan-pelatihan peningkatan kapasitas individu seperti pelatihan guiding, dan pelatihan pembangunan outbond.

Kapasitas Individu Dalam Mengolah Souvenir/Cinderamata. Dalam hal usaha cinderamata, Desa Wisata Ketenger memiliki potensi cinderamata berupa kalung, gelang, dan lain-lain serta konveksi. Masyarakat memiliki kapasitas yang baik dalam mengolah cinderamata. Mereka mampu untuk mendirikan usaha cinderamata serta mengolah cinderamata dan konveksi (lihat gambar 6).

Gambar 6. Mekanisme Pelaksanaan Paket Wisata

Usaha souvenir ini dimulai dari Pak Agus warga Dusun Ketenger, Desa Wisata Ketenger. Beliau sudah mengelola souvenir sejak tahun 2011. Produk yang dijual oleh Pak Agus antara lain bathok, gelang, dan kalung. Sistem pengerjaan souvenir ini adalah subkontrak, dimana pekerjaan dilakukan oleh pihak lain (lihat gambar 7 ).

Gambar 7. Mekanisme Pembuatan dan Pemasaran Produk Souvenir

Saat ini Pak Agus bekerja sama dengan kurang lebih 40 ibu-ibu penduduk Desa Wisata Ketenger. Proses pengerjaan souvenir ini adalah Pak Agus memberikan bahan baku yang digunakan untuk membuat souvenir kepada ibu-ibu. Kemudian ibu-ibu mengerjakan di rumah masing-masing (lihat gambar 8). Dalam jangka waktu tertentu produk dikumpulkan lagi ke rumah Pak Agus lalu dipasarkan di daerah wisata.Pemasaran produk ini ke tempat-tempat wisata yang ada di Kabupaten Banyumas maupun di luar Kabupaten Banyumas.

Gambar 8. Produk Sablon Pak Syaiful

Usaha konveksi dikelola oleh Pak Syaiful sejak tahun 2005. Sistem pengerjaan konveksi ini adalah subkontrak, dimana sebagian pekerjaan dilakukan oleh pihak lain. Pak Syaiful sebagai pihak yang mensubkontrakkan hanya mengerjakan bagian penyablonan dan pemasaran. Sedangkan bagian bahan baku sampai dengan penjahitan baju dilakukan oleh pihak lain. Konveksi ini bekerja sama dengan penjahit yang ada di Desa Wisata Ketenger. Permasalahan yang dihadapi oleh Desa Wisata Ketenger dalam pengelolaan cinderamata dan konveksi adalah belum adanya kios atau toko di dalam Desa Wisata Ketenger yang berfungsi memasarkan potensi desa. Sehingga saat ini Desa Wisata Ketenger lebih berperan sebagai daerah pembuatan cinderamata dan konveksi. Pemasaran cinderamatan dan konveksi dilakukan ke tempat-tempat wisata yang ada di sekitar Desa Wisata Ketenger antara lain Kawasan Wisata Baturaden dan Pancuran 7.

Kapasitas Masyarakat Dalam Melayani Wisatawan. Pelayanan terhadap wisatawan merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam mempertahakan kunjungan desa wisata (Noho, 2014). Pelayanan wisatawan yang akan dibahas meliputi pemanduan wisata (guiding) dan layanan akomodasi (homestay). Dalam halpemanduan wisata (guiding) kapasitas anggota POKDARWIS belum mampu memenuhi kuantitas dan kualitas tenaga pemandu wisata (lihat gambar 9). Desa Wisata Ketenger pernah mendapatkan pelatihan guiding untuk meningkatkan kapasitas masyarakat pada tahun 2010. Pada saat ini Desa Wisata Ketenger belum menyediakan tour guide lokal kecuali untuk wisatawan yang memilih paket wisata atau apabila ada tamu penting dari Dinas Pariwisata.

Gambar 9. Villa Curug Bayan

Sedangkan dalam penyediaan akomodasi, masyarakat sebagai pengelola homestay sudah memiliki kapasitas yang baik dalam melayani wisatawan. Selain itu kondisi homestay siap secara fisik.

Pada saat ini terdapat 29 rumah yang siap digunakan wisatawan dengan 54 kamar dan kapasitas 117 orang. Selain homestay, Desa Wisata Ketenger memiliki villa di tepi Sungai Banjaran. Villa tersebut terletak di depan objek wisata Curug Bayan. Villa ini dibangun pada tahun 2008 dengan pemilik Pak Agus Harjito.

Villa ini memiliki 3 jenis bangunan yang berbeda yang mempengaruhi harga sewa per malam. Untuk bangunan yang paling besar biaya menginap per malam adalah Rp 1.000.000, untuk bangunan ukuran sedang Rp 800.000/malam, sedangkan bangunan yang kecil Rp 300.000/malam.

Analisis Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan. Desa Wisata Ketenger telah menerima beberapa program peningkatan kapasitas kelembagaan yaitu pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh Dinas Pariwisata, pembentukan Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS), PNPM Mandiri Pariwisata, serta PNPM Perkotaan. Program-program tersebut bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pengelola Desa Wisata Ketenger baik kapasitas secara individu maupun secara organisasi. Berikut beberapa program yang pernah dilaksanakan oleh Desa Wisata Ketenger.

  • Studi banding ke Bandung (Wisata Saung Angklung Udjo).
  • Studi banding ke Kampung Cinangneng.
  • Studi banding ke Yogyakarta.
  • Pembinaan mengenai homestay.
  • Forum Komunikasi Desa Wisata Jawa Tengah (FK Deswita Jateng).
  • Festival Desa Wisata Jawa Tengah.
  • Bantuan Pemerintah Provinsi untuk petani anggrek tahun 2011 dan 2015.
  • PNPM Mandiri Pariwisata Tahun 2009 dan 2010.
  • PNPM Perkotaan Tahun 2013.
table of content

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil uraian sebelumnya, secara umum penelitian ini dapat menyimpulkan bahwa Desa Wisata Ketenger telah memiliki kapasitas baik kapasitas organisasi maupun kapasitas individu. Kapasitas organisasi tidak akan berjalan secara efektif apabila kapasitas individu tidak memenuhi kapasitas yang dibutuhkan, sebaliknya kapasitas individu tidak akan berjalan dengan efektif jika tidak didukung dengan kapasitas organisasi.

Kapasitas organisasi yang dilihat dari kepemimpinan dan koordinasi yang dilakukan oleh Ari Cahyono sebagai koordinator lapangan dan pemimpin POKDARWIS "Ketenger Adventure" menunjukkan bahwa kapasitas organisasi POKDARWIS "Ketenger Adventure" kurang baik karena adanya ketergantungan terhadap pemimpin organisasi dan adanya permasalahan pada aspek koordinasi. Pada aspek kemitraan eksternal, aspek pengembangan atraksi wisata serta aspek promosi desa wisata, organisasi pengelola Desa Wisata Ketenger telah menunjukkan kapasitas yang baik.

Pada tingkat individu, Desa Wisata Ketenger telah menunjukkan kapasitas yang baik dalam merintis pengembangan potensi wisata. Selain itu individu menunjukkan kapasitas yang cukup baik dalam pengelolaan atraksi wisata, pengelolaan cinderamata dan konveksi, serta pelayanan wisatawan. Namun individu belum meunjukkan kapasitas yang baik dalam pemahaman dan pengaplikasian konsep desa wisata.

Lebih lanjut penelitian ini juga menemukan beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dari Pemerintah dan pengelola Desa wisata yaitu mengenai pengaplikasian konsep desa wisata terpadu. Desa Wisata terpadu yang diharapkan yakni mengitegrasikan potensi wisata alam, potensi wisata budaya, serta potensi desa seperti homestay dan cinderamata. Hal yang dapat dilakukan antara lain kerjasama antara pemerintah desa, POKDARWIS "Ketenger Adventure", dan kelompok seni "Mekar Kesuma" dalam menyediakan kegiatan wisata Desa Ketenger. Apabila wisata yang ditawarkan semakin banyak, maka paket wisata menginap dapat dilaksanakan dan homestay dapat digunakan. Selain itu semakin lama wisatawan berada di Desa Wisata Ketenger, semakin meningkatkan minat wisatawan terhadap produk Desa Wisata seperti cinderamata, anggrek, serta konveksi.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa hal yang belum digali dalam penelitian ini karena berbagai keterbatasan yang dihadapi. Oleh karena itu, penelitian ini memberikan beberapa rekomendasi agar dapat dilakukan penelitian lanjutan, terutama mengenai kapasitas kelembagaan pada tingkat sistem. Pada tingkat sistem perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan antar individu, kelompok informal, dan organisasi formal yang menghasilkan suatu modal sosial serta kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata serta Pemerintah Desa yang berkaitan dengan pengembangan desa wisata.

table of content

6. DAFTAR PUSTAKA

Chaskin, R. (2001). Building community capacity. New York: Walter de Gruyter.

Damanik, J., & Weber, H. F. (2006).Perencanaan ekowisata: Dari teori ke aplikasi. Yogyakarta: Puspas UGM dan Andi.

Damayanti, E. (2014). Strategi Capacity Building Pemerintah Desa dalam Pengembangan Potensi Ekowisata Berbasis Masyarakat Lokal (Studi di Kampoeng Ekowisata, Desa Bendosari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang). Jurnal Administrasi Publik, 2(3), 464-470. Retrieved from http://administrasipublik.studentjournal.ub.ac.id/index.php/jap/article/view/408

Djogo, T., Sunaryo, S. D., & Sirait, M. (2003). Kelembagaan dan kebijakan dalam pengembangan agroforestri Bahan ajaran agroforestri 8. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southest Asia.

Evita, R., Sirtha, I. N., & Sunarta, I. N. (2012). Dampak Perkembangan Pembangunan Sarana Akomodasi Wisata Terhadap Pariwisata Berkelanjutan di Bali. Jurnal Ilmiah Pariwisata, 2(1), 109-222. Retrieved from http://ojs.unud.ac.id/index.php/jip/article/view/3684

Hamzah, A., & Khalifah, Z. (2012). Community capacity building for sustainable tourism development: Experience from Miso Walai homestay. Community Capacity Building, 2, 1-10.

Inskeep, E. (1991). Tourism planning: an integrated and sustainable development approach : Van Nostrand Reinhold.

Kapucu, N., Healy, B. F., & Arslan, T. (2011). Survival of the fittest: Capacity building for small nonprofit organizations. Evaluation and Program Planning, 34(3), 236-245. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.evalprogplan.2011.03.005

Milen, A. (2006). Capacity Building: Meningkatkan Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: Pembaruan.

Noho, Y. (2014). Kapasitas Pengelolaan Desa Wisata Religius Bongo Kabupaten Gorontalo. JURNAL NASIONAL PARIWISATA, 6(1), 8-21. Retrieved from https://journal.ugm.ac.id/tourism_pariwisata/article/view/6872

Sastrayuda, G. S. (2010). Konsep Pengembangan Kawasan Desa Wisata. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Triambodo, S., & Damanik, J. (2015). Analisis Strategi Penguatan Kelembagaan Desa Wisata Berbasis Ekonomi Kreatif (Studi di Desa Wisata Kerajinan Tenun Dusun Gamplong, Desa Sumberrahayu, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, DIY). Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Retrieved from http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?act=view&buku_id=79364&mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&typ=html

UNDP. (1997). Capacity Development. Manajemen Development and Governance Division. Technical Advisory Paper No. 2.

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Copyright (c) 2016 Jurnal Pengembangan Kota

License URL: http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0